23 Juni 2011

597

Dari tulisannya Mas Paman yang selalu bernas itu, sepenggal paragraf membuat saya sedikit ngahuleng.
"Persoalan besar kita adalah pekerti. Anehnya ketika kita bicara tentang akhlak seolah topik hanya dibatasi pada urusan seks."
Iya sih, saya pernah membahas soal Bibi Sally (tidak ada hubungan keluarga dengan Neng Sali), tapi ternyata saya gagal melihat gambar yang lebih besar. Bahwa ini bukan semata tentang pemerintah yang beraliran pencitraan. Bahwa ternyata kita memang punya masalah.

Pekerti.

Dan bagaimana tidak, ketika kata 'hati nurani' tiba-tiba jadi kehilangan makna.

Ketika kasus ini mencuat, saya sempat berdiskusi dengan nyokap. Saya bilang waktu itu, "Kayaknya Ibu gak pernah bilang 'Rani gak boleh bohong, Rani gak boleh nyontek'. Tapi kayaknya yang kaya gitu mah semua orang harusnya tau ga usah dibilangin juga."

Asumsinya gitu. Makanya di sekolah diajarin gimana caranya solat dan mengaji, sampe dites segala. Karena seharusnya semua orang tau gimana caranya jujur, tapi tak semua orang tau gimana caranya solat.

Padahal mengajari solat dan mengaji jauh lebih mudah ketimbang mengajari jujur. Ternyata.

Mungkin karena jujur tidak ada di butir-butir Pancasila.

Atau ya emang segitu buruknya kondisi pendidikan kita. Orang tua tak lagi mengajarkan pekerti pada anak-anak. Mungkin karena mereka juga tidak mendapatkannya dari orang tua mereka. Atau terkorupsi kehidupan yang semakin tak adil. Atau bahkan terkorupsi di sekolah. Lalu anak-anak yang tidak diajari pekerti oleh orang tua itu kelak akan menjadi orang tua juga. Apa yang akan mereka ajarkan pada anak-anak mereka?

Ketika masalah akhlak ini lalu direduksi menjadi seks, justru semakin nyatalah gagalnya pendidikan. Ketika Ariel menjadi panutan, di mana peran orang tua dan guru? Menyita ponsel atau memasang Nawala hanya solusi plester pengobat gejala. Dalam banyak kasus, bahkan bukan solusi sama sekali.

Dan yang membuat saya sedih adalah, pada kasus ini, sesungguhnya 'contekan massal' itu hanya menjadi latar belakang. Musik pengiring. Dekor panggung. Karena ia telah menjadi begitu biasa. Dari tahun ke tahun kita mendengar, terhenyak sesaat lalu lupa. Hingga berulang tahun berikutnya.

Tahun ini sedikit berbeda karena ada ibu-ibu yang diteriaki warga kampung. Berapa lama kita akan terhenyak sesaat lalu lupa? Dan taun depan akan ada ibu-ibu di kampung lain yang diteriaki juga. Lalu kita akan terhenyak sesaat lalu lupa lagi.

Berapa lama?












Seorang TKI dihukum pancung di Arab Saudi.

Sesaat. Lalu lupa.


Catatan kaki:
Tulisan ini terkonsep di kepala saya hari Senin pagi. Kukulutus kecapean agak tak enak badan dan kurang tidur, lalu membaca berita-berita gak enak. Hanya, mungkin juga untungnya, saya ada kuliah pagi. Kalau tidak, mungkin tulisan ini jadinya marah-marah gak keruan.

2 komentar:

  1. Gw udah pernah baca kalo di butir2 Pancasila gak ada ttg jujur. Tp baca lagi butir2 Pancasila setelah sekian lama (manusia Indonesia macam apa aku ini, falsafah hidup ituu!:p), kayaknya emang Indonesia sekarang itu hasil efek samping Pancasila ya... Pokoknya hidup sejahtera, tepa selira, tolong menolong, bermusyawarah, kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, tidak semena2 terhadap orang lain...
    Kita generasi yg dibesarkan oleh PMP dan memang betapa berhasilnya pendidikan itu sekarang...

    BalasHapus
  2. eh.. baru aja tadi malem ngebahas selewat ttg pelajaran PMP dan ttg UUD sama neng mumun dan neng danti.. hehehe.. udah..gitu doang.. dadah..

    BalasHapus