25 Oktober 2004

19.38. Kereta ekspres terakhir itu memuntahkan isinya, muka-muka lelah dengan ekspresi tergesa-ingin-segera-tiba-di-rumah atau justru gak-usah-buru-buru-udah-deket-rumah-ini. Rani termasuk yang pertama. Merapatkan jaket tipisnya, ia berjalan bergegas. Angin luar biasa kencang malam itu, seolah bisa mengangkat dan menerbangkannya setiap saat.

Angkutan kota yang ditumpanginya serasa tidak cukup cepat melaju. "Tampang lo udah gak peduli lingkungan gitu Ran," komentar Ira di sebelahnya. Rani cuma meringis. Bukan kebetulan itu hari terakhir sebelum Ramadhan dan ketidakberuntungan membuatnya harus pulang begini malam. Dua ajakan tarawih yang masuk ke inbox-nya tadi terpaksa dijawabnya pahit, "gw msh d jln ni". Setidaknya ia ingin cepat sampai di rumah.

Lagi pula bagaimana bisa "gak peduli lingkungan" dalam kondisi seperti ini. Angin kencang menerbangkan daun-daun dan kaleng minuman dan menimbulkan suara keras sesuatu--mungkin drum kosong--jatuh. Dan gerimis mulai turun menampar-nampar jendela.

Dan bagus sekali, ketika ia dan Ira harus turun, gerimis sudah menjadi hujan-teramat-deras sementara untuk mencapai rumah masih perlu naik ojek lagi. Mereka berteduh di emper toko. Ira mulai memencet-mencet ponselnya sementara Rani dengan pasrah berpikir, "Bokap nyokap kayanya taraweh deh..."

Tiba-tiba lampu mati. Mati lampu--tepatnya mati listrik dalam radius sejauh mata memandang. Hanya lampu darurat 15 watt di dalam toko dan lampu mobil lewat yang sedikit menolong. Sempurna!

Sebuah truk tangki panjang warna hitam tiba-tiba melintas, melaju cepat ke arah barat. Rani mengucak matanya. Sebuah logo warna merah mirip baling-baling sempat tertangkap sudut matanya. Tidak sampai satu kilometer dari tempat itu, ada sebuah reaktor nuklir yang cukup untuk membuat terang atau membuat rata Jakarta.


(to be continued kapan-kapan kalo gue ngalamin kejadian kaya film gini lagi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar