18 Juli 2021

758


Budi dan gue mulai ngeblog di waktu yang kurang lebih sama di tahun 2004 berbekal tutorial dari Bapak Blog Indonesia (OMG! Laman ini masih ada!) Sebagai aspiring writers, kami menemukan tempat bermain baru setelah lepas dari bugos LFM. Tujuh belas(!) tahun berlalu, karir menulis kreatif saya practically nonexistent dan blog saya tinggal jadi tempat curcol dan kode-kodean yang di-update tiap cawu. Sementara itu, karir menulis Budi melesat bukan hanya di blog tapi juga berbagai media lainnya. Tapi karya yang paling pecah sejauh ini ternyata masih berakar dari blog: Trocoh, sebuah buku berisi 41 tulisan pendek (esai? kolom? artikel?). 

Membaca Trocoh, terbayang penuhnya isi kepala seorang Budi Warsito. Kenal sudah sangat lama dan setiap mampir ke kineruku untuk curhat kami bisa ngobrol ke sana kemari selama berjam-jam, ternyata irisan minat saya dan Budi nggak segitu banyaknya. Oleh karena itu, banyak sekali momen-momen 'Wah, baru tau,' 'Oh iya ya,' dan 'Anjrit ga kepikiran!' Walaupun ada juga momen-momen 'Naon sih ieu' tapi ya kelokan-kelokan tak terduga itulah yang membuat buku ini asik dibaca. 

Dalam sebuah wawancara, Budi pernah bilang bahwa ia mengeksplor berbagai media dalam menuliskan yang kelak menjadi cikal-bakal Trocoh. Selain blog ada mailing list, twitter, WA group, instagram, dan entah apa lagi. Tapi buat saya, semangat Trocoh kok ya tetap semangat blog di awal-awal 2000an itu. Menuliskan hal-hal yang menarik minat, gak terlalu memikirkan apa yang sedang tren, gak peduli ada yang baca atau enggak (ok yang ini boong, buat apa ada kanal komen), gak peduli akan ide-ide “besar”, karena besar atau kecil itu kan hanya state of mind.

Ternyata saya pernah menulis seperti ini di tahun 2006.
Soe Hok Gar itu salah satu nickname untuk Budi
karena dia *eh* garing, sedangkan Tjik Rantje tak lain
adalah Ariani Darmawan yang kelak menjadi istrinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar