12 Juli 2020

755

Selama pandemi ini, ke-keukeuh-an gue memakai transportasi umum menjadi bumerang. Sebelumnya gak pernah kebayang bakal ada situasi menerus di mana kendaraan pribadi menjadi pilihan paling bertanggung jawab. Untungnya, karena penelitian-penelitian yang gak terkait covid praktis ditunda tahun ini, hampir semua kerjaan bisa gue kerjain di rumah (dan karena hal-hal yang bukan kosumsi publik, kerja di rumah saat ini buat gue ternyata lebih enak daripada di kantor). Saat gue sekali-kali harus keluar rumah, gue pakai taksi1. Yang ga banget adalah kalo gue perlu keluar rumah yang ga penting-penting banget, misalnya ke indo*maret. Yakali gue mesti bayar taksi 50 ribu cuma buat beli sabun.

Jadilah gue beli sepeda. Kekinian kan?


Sejauh ini tantangan terbesar dalam bersepeda adalah jalur yang menanjak. Ya bayangin aja dulu dari perapatan Rooseveltweg sampai Biotechnion itu nanjaknya gak sampai 1 km, itupun kemiringannya gak sampai 5%. Dan mungkin ada faktor bahwa “dulu” itu lebih dari 10 tahun yang lalu ketika umur masih kepala dua hahaha.

Tapi setelah jalur menanjak, imbalannya di arah sebaliknya jalurnya menurun dong? Euh, tidak semudah itu Fergusso. Emang sih enak kalau turun gak ngos-ngosan. Tapi tantangannya menjaga kecepatan supaya tetap stabil, dan di saat seperti ini kangen berat sama sepeda-oma gue yang pake rem kaki. Udah gitu kondisi jalan tea yang gak selalu mulus (ini teh belum ngomongin kegaiban jalur sepeda ya, masih kondisi “jalan mobil” aja). Bayangin lo di jalan menurun, bergantung sama rem tangan untuk ngatur kecepatan, terus ujug-ujug aspalnya bergelombang sementara di belakang ada motor yang ngebut juga.

Menjaga supaya bersepeda bagai meniti shiratal mustaqim alias di satu jalur lurus juga ternyata sulit. Alasannya karena sepeda itu relatif ringan dan selama bersepeda, setengah badan kita terus-menerus bergerak. Hal ini ga kerasa sama gue sebelumnya karena di Wageningen ke mana-mana juga lewat jalur sepeda; asal gada yang mau nyusul mah lenggak-lenggok dikit ga apalah. Lah kalo yang mau nyusulnya angkot apa kabar?

Tapi yaa… kalau berlatih mah (mudah-mudahan) lama-lama terbiasa deh. Jalur nanjak asal sabar gak kepingin ngebut lama-lama sampai juga. Sekarang udah bisa ke supermarket yog*ya seberangnya Unpar. Target jangka panjang sebenarnya pingin nyepeda ke kantor, tapi ini kayaknya masih jauuuh banget. Bukan cuma perlu latihan fisik tapi juga mental. Kemarin keluar sepedaan gak sengaja bareng jam pulang kantor aja jiper, padahal Ciumbuleuit ya gak parah-parah amat lalu lintasnya.

Jadi sementara nyepeda untuk belanja dulu aja deh.


______________________________
1 Naik taksi termasuk kegiatan berisiko sedang, lumayan dibandingkan kendaraan umum yang termasuk risiko tinggi. Sementara pertanggungjawaban gue itu aja dulu deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar