30 Mei 2019

749

Kuldesak : Jalan Buntu Siapa?

Gambar diambil dari Kineklub LFM ITB

Judul ini yang pertama kali terpikir sama gue setelah nonton Kuldesak karena, seperti mungkin juga banyak orang lain, gue pikir film ini gak jelas, kalo gak mau dibilang jelek. Maunya bicara banyak tapi kok timpang. Maunya alternatif tapi kok standar.

Gue gak bisa menghilangkan imej bahwa film ini adalah 4 film pendek dengan 4 sutradara, dan bukannya sebuah film utuh dengan satu tim sutradara. Sifatnya memang jadi subyektif sekali. Mungkin karena film ini udah di-ekspos jauh-jauh hari dengan gebyar bintang-bintangnya, dengan Ryan Hidayat-nya, juga label independen-nya. Tapi lebih mungkin, penyebabnya adalah gue ngeliat ada perbedaan kualitas dari empat film pendek itu, yang mau gak mau membuat gue memperbandingkan bahkan secara ekstrem meng-klaim sebuah segmen sebagai paling baik dan segmen lainnya sebagai jelek sekali.

Garapan Rizal Mantovani (dengan segala permohonan maaf), adalah segmen yang gue kategorikan sebagai jelek. Ceritanya absurd (sebenarnya absurd tidak terlalu menjadi masalah, namun yang gue liat adalah penyederhanaan, bahkan pembodohan), aktingnya payah, juga adanya inspirasi yang gak pada tempatnya. (Katanya Rizal nyontek Pulp Fiction, tapi gue belum nonton jadi gak bisa ngebandingin)

Soal inspirasi juga, kayanya gak bisa lepas dari Riri Riza. Ceritanya standar dan latar belakangnya klise sekali. Padahal akting Ryan Hidayat sebagai Andre dan idiom Kurt Cobain yang dipilih lumayan asik. Sayang gak dieksplorasi lebih jauh. Satu hal yang agak menarik adalah Riri tampaknya mencoba sedikit puitis. Ia banyak bermain dengan kata-kata.

Segmen Mira Lesmana agaknya merupakan “penelanjangan” atas film ini. Kalimat terakhir yang berkesan itu adalah suatu pengakuan, atau mungkin apologi, dari mereka berempat, “Kok jadi gini sih? Gue kan cuma mau bikin film.” Sebenarnya ceritanya lumayan menarik. Sayang akting Wong Aksan minim banget. Jadi kontras sama Tio Pakusadewo, juga Bucek Depp yang lumayan all out.

Dan yang gue klaim sebagai yang terbaik mau gak mau adalah milik Nan T. Achnas. Kesimpulan ini pertama kali di tengah-tengah film gue dapat (secara analitis) dengan menyisihkan keempatnya satu per satu. Dengan kata lain, seperti gue bilang sebelumnya, gue membandingkannya dengan yang lain. Dan memang, segmen ini beda banget sama tiga segmen yang lain. Ia tidak bicara tentang (anak) orang kaya, tidak bicara tentang “Henry” (tokoh Macaulay Culkin di film The Good Son yang dikisahkan sebagai pembunuh berdarah dingin namun tanpa penjelasan mengenai latar belakangnya). Ia juga satu-satunya segmen tanpa pistol dan darah. Tapi saat ia gue anggap sebagai film yang berdiri sendiri (dengan pengandaian tiap segmen adalah sebuah film pendek) gue menemukan bahwa ia memang layak ditonton. Ceritanya yang mengalir dengan tokoh-tokoh yang terkesan biasa-biasa saja (bahkan meskipun Budi dan Yanto digambarkan sebagai homo) justru menjadi alternatif yang tidak biasa. Secara unik, mungkin juga ironis, Nan menempatkan Oppie sebagai penjaga karcis bioskop, yang kita temui setiap kali kita menonton film tapi hampir pasti tidak kita acuhkan. Penggambaran persahabatan yang menyenangkan hati dan pengungkapan masa lalu yang gak vulgar tetapi miris. Dan yang juga menarik adalah detail-detail yang digarap Nan yang sangat mendukung cerita. Ia tidak bersibuk-sibuk dengan icon Amerika atau detail dalam arti fisik. Adegan bola plastik atau cetusan “Anak saya” di sini lebih realistis dan dengan sendirinya lebih bicara. Mungkin yang sedikit mengganjal adalah ending-nya yang blur.

Gue jadi berpikir, apakah seandainya film ini dipecah menjadi empat gue akan menonton semuanya, punya Nan aja, atau tidak sama sekali. Tapi gue pikir, kalo Nan berdiri sendiri, judulnya gak akan Kuldesak. Seperti juga Horror, Homo, dan Hero-nya Poison. Kalau gue tonton Horror-nya aja, yang menampilkan poison dalam arti fisik, dia tetap Horror dan bukan Poison, karena ketiga cerita itu adalah satu kesatuan. Gitu juga maunya Kuldesak.

Ada satu bagian di perempat akhir film ini yang menggambarkan keempat tokoh tersebut (Aksan, Andre, Oppie, Bianca) dalam situasi yang bisa dibilang sama. Bingung, gak tau mo ngapain dan gak bisa ngapa-ngapain. Cul de sac. Di sinilah klimaks film ini menurut gue, bagian ketika benang merah tak kasat mata yang dimaksud empat sutradaranya terlihat transparan.

Gue lalu mencoba memandang film ini secara utuh dan gue kembali ke saat gue menonton film ini. Dengan berbekal apriori dan segala subyektivitas gue, penilaian pertama gue adalah film ini lebih bagus dari yang gue kira. Dalam arti, bayangan gue akan film ini sebelumnya lebih buruk lagi. Ini mungkin sebuah permakluman dan tetap tidak melegakan, apalagi meningkatkan kualitas film ini walaupun terus terang gue menganut standar ganda untuk film Indonesia. Tapi gue jadi curiga, jangan-jangan penilaian pertama gue gak obyektif juga.

Lalu gue merunut film ini lagi dari awal. Ternyata ada penilaian yang gue paksakan, juga hal-hal yang luput dari perhatian gue. Misalnya segmen Andre yang gue kira punya Mira. Karena gue udah apriori sama Mira dan gue udah tau Riri sebagai pembuat film pendek dan dokumenter, dengan “semena-mena” gue klaim segmen Aksan lebih bagus dari Andre. Rada kecewa juga waktu tau bahwa ternyata kebalik. Lalu, masih segmen-nya Andre, soal burung hantunya Iwa K itu bukan hanya gak gue perhatiin banget, malah cenderung gue anggap norak. Waktu Heldi nanya dan Riri ngejelasin, baru gue ngeh bahwa burung itu adalah lambang persahabatan Iwa dan Andre yang akhirnya malah menambah nilai plus untuk segmen yang tadinya gue rasa biasa ini.

Yang lainnya adalah interpretasi dari sudut lain yang mungkin bahkan gak diharapkan sama sutradaranya sendiri. Dan ini sah-sah aja. Seperti interpretasinya Bakul atas segmen Aksan. Menurut dia, tokoh utamanya itu bukan Aksan (seperti release dari Day 4 Night sendiri), melainkan sang provokator Tio Pakusadewo. Ada benarnya juga sih, dengan catatan, Tio gak mengalami cul de sac seperti Aksan.

Di luar ceritanya, ada juga hal-hal yang menarik untuk dicermati. Pengambilan gambarnya asik-asik. Gitu juga lagu-lagunya. (Kayanya dua faktor ini yang bikin Kuldesak dituduh sebagai video klip panjang). Editingnya boleh diacungin dua jempol (banyak yang komplein mood-nya terputus-putus, tapi kata gue sih asik-asik aja). Yang rada ironis justru bintang-bintang (baca : public figure) yang bertebaran. Di satu sisi ini jadi selling point, di sisi lain gue (dan juga kebanyakan orang, kali), masih star-figure-minded. Jadi yang diliat bukan peran, tapi tokoh. Apalagi akting mereka rata-rata garing.

Akhirnya, boleh aja kan gue punya pendapat sendiri yang beda sama pendapat orang lain atau justru menyetujui pendapat orang lain. Sah juga kan kalo gue berubah pendapat sekiranya ada pemikiran lain yang gue pikir lebih tepat. Pendapat gue akan film ini adalah seperti apa yang gue tulis sebelumnya. Dan gue setuju kata-katanya Riri, kurang lebih, “Mungkin banyak yang ngerasa gak dapet apa-apa dari film ini, tapi saya yakin banyak juga yang mendapatkan sesuatu.” Terakhir, lepas dari semua, Kuldesak tetap adalah “sesuatu”, yang mungkin tidak dan tidak akan menjadi besar dan terlupakan tapi tetap harus kita hargai.

18 Februari 1999 20:11
Rani


*Tokoh-tokoh yang diperankan Oppie, Bianca, dan lain-lain (kecuali Tio Pakusadewo dan Bucek Depp, karena nama perannya gak familiar) tetap gue sebut dengan nama aslinya karena gue nilai mereka masih bermain sebagai diri sendiri.
Bakul dan Heldi yang disebut dalam tulisan ini adalah kru LFM angkatan ’94. Dialog antara Heldi dan Riri Riza berlangsung pada acara “Kuldesak : Bedah Film” yang diselenggarakan LFM, Februari 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar