16 Oktober 2014

723


Gue pasang status ini di facebook setelah serangan Israel ke Gaza bulan Juli lalu, yang tentu saja memunculkan banyak status pro-Palestina di linimasa gue. Tapi ada beberapa status—atau gambar sih, tepatnya—yang diunggah beberapa teman, yang intinya ya, seperti yang gue tulis di status itu. Silakan di-google aja sendiri, walopun gak susah tapi menurut gue bahkan tautnya pun gak layak ditampilkan di sini.

Tapi sehabis memasang status itu gue jadi berdebat sama diri gue sendiri. Apalagi tepat di artikel sebelum ini gue nyantei-nyantei aja masang karikatur ISIS yang kontroversial itu. Apa gue sudah jadi—uhuk—liberal? Apa gue gak ada simpati sedikit pun sama penderitaan umat Islam? Dan secara gue punya teman-teman ateis dan gak pernah mengancam-ancam untuk memutus pertemanan sebelumnya (walopun cuma di facebook), apakah menurut gue membenarkan Hitler lebih aib daripada tidak percaya Tuhan?

Hanjir, beurat.

Beberapa tahun terakhir ini, saat gue menghabiskan banyak waktu tinggal di negara di mana umat Islam (mungkin umat beragama, bahkan) menjadi minoritas, gue juga mulai bersentuhan dengan literatur tentang ateisme*. Di lain pihak, gue dibesarkan di negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sembilan belas taun hidup di bawah ketakutan akan bahaya laten komunis, dan komunis = ateis. Jadilah kalo dulu gue suka kurang kerjaan baca situs JIL paralel sama sabili, sekarang gue beneran ngerasain hidup di dua dunia yang bertentangan sehingga menghasilkan tulisan-tulisan galau macam ini.

Gue memulai tulisan ini lebih dari dua bulan yang lalu dan sampai sekarang gak kelar-kelar. Padahal intinya mah gak susah-susah amat sih. Yang pertama, gue tidak merasa perlu menjustifikasi keberagamaan gue, baik terhadap sesama umat beragama maupun ke mereka yang gak percaya Tuhan.

Banyak hal yang sudah terjadi dalam dua bulan. ISIS masih menyembelih orang. John Oliver membahas pesawat tanpa awak. Malala Yousafzai mendapat hadiah nobel. Mark Zuckerberg blusukan ke Tanah Abang sama Jokowi (dan menyempatkan diri menghadiri pengajian di RT01/05).

Ben Affleck muntab di acara Real Time with Bill Maher gegara Maher dan Sam Harris menyerang Islam. Tentu saja ini jadi rame baik dari pihak yang mengecam maupun mendukung "Imam Ben Affleck". Salah satu respons paling keren menurut gue adalah dari Reza Aslan,


yang tentu saja adalah "jawaban" Aslan kepada Chris Cuomo (CNN) yang mengomentari wawancara Aslan di CNN yang membahas komentar Maher tentang pernyataan Obama soal ISIS. Belibet kan?

Minggu lalu, Aslan menulis editorial di New York Times dan melakukan wawancara dengan Salon.com. Dua-duanya layak dibaca tapi gue mau menyorot ini aja:
There is a fundamental misunderstanding among these critics of religion in that they believe, first and foremost, that people get their values, their morals from their scripture, when in reality the exact opposite is true. You bring your morals and your values to the scriptures; you don’t extract them from them. 

Ada kesalahan mendasar dari para pengkritik agama yaitu mereka percaya bahwa (para penganut agama) mendapatkan nilai-nilai moral mereka dari kitab suci, padahal kenyataannya justru sebaliknya. Anda membawa moral dan nilai Anda ke dalam kitab suci; Anda tidak mengekstrak nilai-nilai itu dari kitab suci.
(sumber)
Lucunya, sebagai warga negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, gue telanjur akrab dengan doktrin bahwa agama = moral dan sebaliknya, tidak beragama = amoral. Dan, selain menyaksikan dengan mata gue sendiri, argumen para ateis-lah yang membuat gue meyakini bahwa pernyataan kedua itu salah dan pernyataan pertama itu, setidaknya, tidak sepenuhnya benar. Ini hal kedua yang mau gue tulis sejak dua bulan yang lalu itu.

Minggu lalu gue dengerin Harmontown, ketika Dan Harmon yang teler berat mendirikan agama Harmonology. Sebenarnya dari beberapa kali Dan menyinggung agama di Harmontown, gue merasa sikapnya sama agama kurang lebih sama dengan Jeff. Dan ternyata gue nemu tulisan ini:
There is such a thing as a perfectly healthy, self-actualized atheist. I’ve met them. They’re not all that pissed off at other people’s religions and they don’t devote a lot of energy condescending to primitive mythologies. When you are a genuinely smart person with respect for scientific method, the confidence it brings is rarely characterized by a need to disprove people’s personifications of the unknown. 

Ada kok yang namanya ateis sehat dan percaya diri. Aku pernah bertemu mereka. Mereka sama sekali tidak marah kepada agama orang lain dan mereka tidak mendedikasikan banyak energi untuk menjatuhkan mitologi primitif. Jika kamu benar-benar orang pintar dan percaya metode ilmiah, itu akan membawa kepercayaan diri yang jarang ditunjukkan dengan kebutuhan untuk mematahkan argumen seseorang atas personifikasi terhadap sesuatu yang tidak diketahui.
(sumber)


*Oh baiklah, Douglas Adams dan Christopher Brookmyre. Diam kau tukang bersih-bersih tangga menara gading sastra!

3 komentar:

  1. yah, ran.. udah nulis jero2, dapet komen bot.. :))

    BalasHapus
  2. hihi ya gak pa2 vir, yg penting komen *optimis*

    BalasHapus
  3. Hi Rani, saya mau iseng berkomentar, hehe
    to be honest, I don't really give a damn about how many kinds of atheist are there in the world, are there good guys or bad guys...*don'tcare*
    what do I concern is what I believe, does it make sense? how can I deduct that this is the truth? I do believe in universal truth, menurut saya, it also runs both ways, kita sudah punya intrinsic morals values yg kita cocokkan ke kitab suci, and we also take something from the holy scripture.
    I do not want to judge people, ISIS or whatever, because I do not have any competence in that matter, but we do have universal truth about what is wrong and what is right.
    I also believe that not all religions are the same, maybe common stories and values are similar, but basic concepts that it conveyed are different, what is the basic concept of holy scriptures? about God ofcourse..

    BalasHapus