08 Juli 2012

679


Negeri Di Bawah Kabut, salah satu film terkeren yang saya tonton taun ini. Menggarisbawahi kata film dalam frasa film dokumenter. Dan membuat An Inconvenient Truth-nya Davis Guggenheim terlihat seperti propaganda Nazi (oh baiklah film apapun bisa membuat An Inconvenient Truth terlihat seperti propaganda Nazi).

Kemarin sutradaranya, Shalahuddin Siregar, berbagi pendapatnya soal film #dokumenter serta pengalamannya "membuat & mempertontonkan 'Negeri di Bawah Kabut'". Karena tak punya twitter dan cari-cari di google belum ada yang merangkum, ya sudah saya salin-tempel di mari. Semoga beliau-nya gak keberatan.

Yg paling menyebalkan adalah ketika bentuk dokumenter hanya dianggap sebagai bentuk media advokasi dan pembuatnya mesti aktivis ‪#dokumenter‬

Seolah2 ada anggapan bahwa bikin dokumenter harus merubah hidup orang, terutama yang menjadi subjek / protagonisnya ‪#dokumenter‬

Saya bukan aktivis & membuat dokumenter bukan u merubah hidup orang yg ada di film saya. ‪#dokumenter‬

Kalau mau merubah hidup org, saya pilih jadi TUHAN. ‪#dokumenter‬

Buat saya ‪#dokumenter‬ itu salah satu cara / bentuk untuk bercerita tentang sesuatu.

Sbg media audio visual, saya menempatkan ‪#dokumenter‬ sebagaimana film fiksi, sama-sama memakai bahasa film.

Kecenderungan ‪#dokumenter‬ dianggap sebagai bentuk aktivisme telah menghilangkan sisi artistiknya.

Bermain dengan ruang, cahaya, suara adalah hal yang jarang dieksplorasi dalam ‪#dokumenter‬ kita.

Kenyataan seolah2 harus direkam dengan mentah sebagaimana mata kita melihatnya. ‪#dokumenter‬

Padahal by default film itu manipulatif. Kamera itu manipulatif. Editing itu juara manipulasi. ‪#dokumenter‬

Dokumenter sering dianggap sebagai fotocopy kehidupan & si sutradara tdk boleh mengintervensinya dengan bahasa film. ‪#dokumenter‬

Kata Herzog, kalau mau nonton kenyataan, tonton aja CCTV ‪#dokumenter‬

Dokumenter punya kecenderungan menganggkat isu2 besar dng cara yg sangat pretensius yg menjadikan filmnya kering ‪#dokumenter‬

'Negeri di Bawah Kabut' dibangung dari obsesi saya melihat relasi Muryati & Sudardi sebagai pasangan yg menikah tanpa pacaran ‪#dokumenter‬

Saya selalu melihat Sudardi & Muryati di film 'Negeri di Bawah Kabut' sebagai satu kesatuan. ‪#dokumenter‬

Saya juga terobsesi dengan relasi Arifin dengan bapaknya di 'Negeri di Bawah Kabut'. ‪#dokumenter‬

Relasi antar manusia dan relasi antar manusia dengan alam adalah dasar cerita 'Negeri di Bawah Kabut'. ‪#dokumenter‬

Sebab saya terobsesi memfilmkan hal2 yg sederhana seperti orang jatuh cinta, hubungan orang tua dgn anak. ‪#dokumenter‬

Saya terobsesi memfilmkan hal2 sederhana yg ada di dalam diri kita yg tanpa sadar kita lupakan. Misalnya keluarga. ‪#dokumenter‬

Itu tadi catatan dari pengalaman membuat & mempertontonkan 'Negeri di Bawah Kabut'. ‪#dokumenter‬

Huhuu... kapan ya bisa bikin film lagi?

2 komentar:

  1. pasti gatel pengen punya akun twitter lagi.. mhihihihi

    BalasHapus
  2. hahah... peer pressure-nya belum separah waktu mau beli macbook :P

    BalasHapus