16 September 2009

448

Gue baru saja menyelesaikan kuliah di program sains lingkungan, tapi gue lebih suka bilang bahwa gue mengerjakan teknologi lingkungan. Bukannya gue berpikir bahwa 'teknologi' itu lebih keren dari 'sains' (setidaknya gue beranggapan keduanya sama kerennya, atau sama membosankannya, tergantung diliat dari mana), tapi lebih karena gue gak berbicara sama pohon. Gue gak makan sayuran organik dan gak pake sendal kulit kayu buatan suku terasing. Gue udah beli coklat verkade sebelum mereka memasang tanda 'fair trade' di bungkusnya.

Iya sih itu semua stereotipe, tapi sampai seorang teman sekelas gue bilang 'Gue tinggal di hutan hujan tropis selama setaun dan selama itu gue praktis ngomong sama pohon', gue gak mengira bahwa gue akan ketemu orang yang benar-benar menjalankan hidup seperti itu.

Makanya gue bahagia banget baca buku ini. Puas gitu. Kayaknya ketidakpedulian gue sama lingkungan terjustifikasi :P

Ngga ding :D

The Rebel Sell (diterjemahkan menjadi Radikal Itu Menjual) membahas perkeliruan gerakan-gerakan budaya tanding, salah satunya aktivisme lingkungan. Gue pikir Spaargaren 101 tidak cukup memodali gue untuk ikut-ikutan mengkritik. Kalo orang mau bicara sama pohon atau bikin petisi menolak perburuan ikan paus, ya silakan aja. Selama gak ngeganggu gitu. Nah justru yang dibahas buku itu, kadang-kadang, aksi-aksi budaya tanding itu malah kontraproduktif terhadap apa yang diperjuangkan. Contohnya? Liat ulasannya Mumu aja ya, males nulisnya :P

Kadang-kadang, emang mudah kok tergelincir. Gue sempet ngerjain proyek tentang makanan lokal. Pernah denger tentang food miles? Kedengaran masuk akal kan? Emang masuk akal kalau lo tinggal di Indonesia, itu pun gak selalu. Dari sudut pandang lingkungan, terkadang memproduksi makanan secara lokal dampak lingkungannya bisa lebih besar daripada mengangkut makanan dari daerah lain (liat bagian bawah artikel wikipedia yang tadi). Dan kalo lo kebetulan tinggal di negara maju, ada dampak ekonomi yang juga harus diperhitungkan.

Jadi pesan moralnya, teliti sebelum bicara dengan pohon. Mungkin dia tidak mau mendengar. Mungkin lebih baik lo melakukan hal lain yang lebih berguna.

9 komentar:

  1. eh, warnanya gue ubah gini jadi aneh ga?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Banner: 'Capitalism is Dead!' Souvenirs & Merchandise
    Seller: (whisper) "I think I've found a growth market..."

    The Economist, 16 October 2008, saat krisis ekonomi global menguat dan orang meramalkan runtuhnya sistem kapitalisme
    http://www.economist.com/daily/kallery/displaystory.cfm?story_id=12445117

    BalasHapus
  4. Kaya air mineral di Indonesia dikirim dari satu tempat ke tempat lain, padahal di Indonesia di daerah2 yg berpenduduk jarang2 yg kesulitan air. Jelas saja semua konsentrasi penduduk biasanya sudah berada dekat dengan sumber air seperti Sungai / Air Tanah. Biasanya PDAM baru bisa beraksi kalau ada sumber air meskipun air dari PDAM belum bisa diminum. Keberadaan depot isi ulang yg bertebaran di Indonesia bisa menjawab kebutuhan masyarakat untuk air bersih yg bisa diminum.

    Tapi dari sisi yg lain gua ngelihat food miles ini salah satu argumen yg bisa digunakan untuk menahan laju Free Market via consumer awareness dengan berkampanye membeli local foods. Karena yg paling terkena impact dari Free Market di Negara Maju adalah agroindustry, dan jumlah petani dan pihak2 yg terlibat di agroindustry cukup banyak, dan bisa jadi masalah baru such unemployment problem kalau hal ini dibiarkan.

    BalasHapus
  5. pingin baca deh buku radikal menjual itu..

    BalasHapus
  6. @stan:
    LOL
    exactly! :D

    @edo:
    bukannya pertanian di negara maju malah diproteksi? lagian mereka kan biasanya intensive farming yg ga employ byk pegawai gt. jadi emang ada dampaknya, tapi ga sebesar dampak ke ratusan petani di thailand gitu, kalo mereka memblokir impor beras.

    sementara negara maju kan biasanya 4 musim, so environment-wise, carbon footprint utk bertani saat winter tentunya lebih gede drpd transportasi

    utk indonesia yg negara berkembang dan bisa menanam sepanjang taun, argumen food miles/local food sebenarnya lebih logis. tapi tetep aja. menurut gue, kl mau local food yg sebenarnya, berarti jgn kepingin macem2. harus mau mengkonsumsi apa aja yg bisa diproduksi daerah lo, dan jumlahnya pasti sangat terbatas. org sunda aja bosen kali disuruh makan lalap tiap hari mah :D

    @vira:
    you should, vir :D
    bahasanya asik sebenarnya, kayanya seruan baca aslinya kalo ada

    BalasHapus
  7. Rani:
    bukannya pertanian di negara maju malah diproteksi? lagian mereka kan biasanya intensive farming yg ga employ byk pegawai gt. jadi emang ada dampaknya,

    Edo:
    yg di Europe gak seintensive yg di U.S. yg di U.S. perusahaan kaya Smithfield Foods dah mendominasi pasar. Yg di Europe petaninya lumayan gampang teriak2 gara2 Komoditi dari negara luar bisa masuk tapi mereka kesulitan buat ngejual produknya keluar. Yg ada mereka nyiptain barrier2 yg baru selain tarrif or subsidi.

    Rani:
    sementara negara maju kan biasanya 4 musim, so environment-wise, carbon footprint utk bertani saat winter tentunya lebih gede drpd transportasi

    Edo:
    Yg ini bisa jadi argumen untuk mendukung untuk vertical-farming development in the future.

    BalasHapus
  8. yang gue tau emang (at least di belanda) petani mulai kepaksa scaling down. tapi seperti gue bilang, dampaknya gak sebesar di negara berkembang. jadi kl dr sudut pandang counter culture, local foods itu berperan memiskinkan negara2 asia dan afrika, tempat pelarian para aktivis counter culture utk menemukan eksotisme timur (iya, ini generalisme sempit--ih, kontradiktif gak si?) kalo di state of fear-nya crichton, ini standpoint nya ted bradley yg menganggap kemiskinan di negara2 dunia ketiga sebagai sesuatu yg eksotik dan merupakan bukti kedekatan dgn alam :D

    ini kl mau liat kritisi soal local foods

    vertical farming, energy-wise masi utopis deh kayanya ;))
    but who knows

    BalasHapus
  9. bondy the great28/9/09 12:58

    @stan : =)) loe lucu banget seeh! sini cubit dikit.

    tapi intinya gw sepakat lah, apapun judulnya, kalo emang lagi trend nya dan bisa dijual,ya pake aja buat jualan :D

    @tuan rumah : ketika budaya counter culture udah jadi mainstream mereka jadi sama membosankannya ya ran? jadi ingat dulu pernah bantu bikinin tulisan paper seorang teman aktivis bertema lingkungan, gw googling untuk dapetin semua jargon2 berbau intelek environtment friendly, go green, bio diversity, dan semua whatsoever hantu blaonya yang pokoknya intinya (target pribadi gw adalah) kudu bisa mengharu-biru pembacanya. it was fun though B-)

    eniwey, selamat belajar ngobrol ama puun ok

    BalasHapus