31 Agustus 2009

445

Film cin(T)a adalah semacam obrolan warung kopi yang diangkat ke layar lebar. Papan diskusi di laman facebook-nya (12997 penggemar ketika saya menulis ini) menyiratkan bahwa ini adalah sebuah film dengan sebuah pernyataan. Atau banyak pernyataan. Yang berhamburan seperti obrolan warung kopi.

Menit-menit pertama film ini berlangsung agak tergesa. Adalah Cina, seorang mahasiswa baru (kita tahu namanya dari papan nama raksasa yang dipakainya) yang berlari-lari ke kampus barunya, disambut oleh spanduk 'Selamat datang putera-puteri terbaik bangsa.' Lantas kita berkenalan dengan Annisa, yang setelah berhasil berlari dari mobilnya ke dalam kampus untuk menghindar dari hujan, menyempatkan diri berdiam dan memutar-mutar lehernya dengan gaya sensual untuk memuaskan beberapa orang putera terbaik bangsa yang sedang mengintip di lantai atas. Belakangan kita tahu bahwa Annisa adalah seorang mahasiswa tingkat akhir, bintang film, kesepian (sesuai salah satu hukum Newton yang diperkosa habis-habisan di film ini), dan ber-IPK 2,1.

Setelah perkenalan singkat itu, film bergulir dengan plot AADC. Bedanya, jika hubungan Rangga dan Cinta terhalang oleh teman-teman Cinta yang cantik-cantik itu, hubungan Cina dan Annisa direcoki oleh pihak ketiga bernama (T). Walaupun tak kasat mata (bahkan menulisnya pun harus dalam tanda kurung), pengaruh (T) ini ternyata luar biasa besarnya. Cina yang ceria dan tanpa beban, dan Annisa yang murung dan terlalu banyak beban, sempat-sempatnya berfilosofi sepanjang film ini untuk membahas (T) dari sudut pandang mereka masing-masing. Pada akhirnya, kita tak terlalu peduli apakah Cina dan Annisa akan jadian atau tidak. Kita lebih penasaran, apakah yang akan mereka lakukan terhadap (T).

Saya menunggu-nunggu it!-moment ketika saya jatuh cinta pada film ini (saya jatuh cinta pada film The Photograph, misalnya, ketika Lim Kay Tong berakting tanpa kata dan menjulurkan kepala keluar jendela kereta api). Saya tidak menemukan yang semacam itu di film ini, tapi tanpa it!-moment, saya jatuh cinta pada Cina. Akting Sunny Soon terasa segar, percaya diri, dan saya yakin kalimat "...we’re just participating in the big commersialism of Christianity to support the advance growth of capitalism" itu tidak mudah dihapalkan, jangankan lagi diucapkan dengan meyakinkan.

'Film bicara' memang merupakan momok bagi film Indonesia. Dan pilihan sulit inilah yang secara sadar diambil oleh penulis skenario cin(T)a (Sammaria dan Sally Anom Sari nampaknya memang suka tantangan). Sebagian dialog yang jenial, 'dalem', dan filosofis (walaupun belum selevel "Istri yang baik adalah istri yang menganggap bisul di pantat suaminya lebih penting dari ketombe di kepalanya," yang diucapkan Ikranegara pada Ully Artha sambil membetulkan letak sarungnya, 23 tahun yang lalu) berhasil terungkap wajar sesuai tuntutan keadaan. Toh godaan untuk melontarkan quote yang mengesankan terkadang tak bisa terhindarkan.

Kegelisahan menjadi energi yang diledakkan Sammaria selaku sutradara. Obrolan warung kopi toh tidak lahir dari ruang kosong. Justru ia lahir dari proses yang panjang, dengan struktur yang lepas, yang kadang juga nampak di film ini. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan gagasan-gagasan yang dilontarkan di dalamnya, hingga saya menyadari bahwa ternyata tidak terlalu banyak yang harus tidak disetujui. Bukan karena gagasannya brilian, tapi karena seperti halnya obrolan warung kopi, film ini lebih merupakan proses mencari ketimbang menjawab.

Saya membayangkan spektrum reaksi yang lebar dari penonton film ini, mulai dari "Gue bangeeeet..." hingga "Kurang ajar! Sesat!" Entah kenapa, firasat sok tau saya mengatakan bahwa itulah justru yang diinginkan Sammaria.

-foto diambil dari sini

7 komentar:

  1. Entah kenapa, firasat sok tau saya mengatakan bahwa itulah justru yang diinginkan Sammaria.
    ...
    as expected

    BalasHapus
  2. kebetulan banget.. baru tadi malem gue nonton ni film, eh taunya lo baru aja ngeblog about it :D

    BalasHapus
  3. sayang, sammaria mengatakan film ini dibuat tanpa tujuan...

    pliiisss sam, tidak ada film yang dibuat tanpa tujuan....

    BalasHapus
  4. kalo tujuannya berproses mencari jawaban... itu bisa ga?

    BalasHapus
  5. sebagai penonton awam, saya gak terlalu peduli sih filmnya bertujuan atau enggak. film jelek tetap film jelek walaupun tujuannya mulia. begitu pula sebaliknya.

    BalasHapus
  6. di filmnya ada obrolan atheis ala2 ricard dawkins nya ga ran? mungkin kalo settingnya mahasiswa-mahasiswi biologi kali ya..pengen nonton juga euy

    sammaria+sali anom, duet maut provokator intelektual. salut. denger2 mau ke malay ya ni film?

    BalasHapus
  7. hehe ga ada tu perasaan. mungkin krn tokohnya mhs arsitek, jadi sudah sepakat pada penciptaan :D

    BalasHapus