Ah, andai saja cerita Tiga Hari untuk Selamanya memang sedalam itu. Sayangnya enggak. Mungkin Riri Riza memang seorang jenius. Tiga hari dalam film ini terasa selamanya, dan gue ikut-ikutan tersesat bersama Ambar dan Yusuf.
Mungkin Mira-Riri naik kelas dari memasyarakatkan ciuman di Petualangan Sherina menjadi memasyarakatkan ML di film ini. Gak, gue gak terlalu mempermasalahkan ML (yang toh digunting dengan kejam oleh Titie Said) seandainya ceritanya memang mengharuskan demikian. Masalah gue adalah, kalau Sherina mencium Sadam yang terluka sebelum melanjutkan petualangan cuma jadi adegan kecil yang mengganggu, di film ini ML menjadi premis. Seolah-olah mereka memang harus ML di akhir film, baru disusunlah cerita dan percakapan-percakapan filosofis yang katanya berbau posmo. Sah-sah saja sih, sayang tidak meyakinkan. Maksud gue, anggap saja ending itu tidak ada trus gue bertanya sama diri gue sendiri apa yang akan gue lakukan setelah perjalanan yang merepotkan itu? Jawaban gue sih sederhana: tidur. Tapi apakah gue minus sembilan taun ditambah giting akan memberikan jawaban ML? Kok kayanya enggak.
Film ini sih gak (segitu) jelek(nya), cuma sebenarnya gak segitunya untuk gue bikin sebuah posting. Gue malah menunggu seseorang menulis di blog-nya tentang film ini untuk gue komentarin, tapi kok gak ada yang nulis-nulis ya? Malah baca Tempo,
Tapi film ini tentu mengganggu orang yang terbiasa menonton film yang mengandung banyak konflik dan dramatisasi. Untuk menyaksikan percakapan remeh-temeh selama lebih dari satu jam itu terasa lama.yang membuat gue gatel pingin nulis. Kesel rasanya sama pengulas—di media arus utama lagi—yang menyalahkan penonton karena berada di luar segmen dan merasa bosan. Coba liat di bawah gambar anak ayam, kalo film ini memang the return of the real, berarti seharusnya film ini gue banget. Dan untuk apa membuat film tanpa konflik dan dramatisasi? Intinya bukan pada seberapa banyak tapi pada seberapa kuat.
Yang membuat gue bertahan nonton film ini adalah chemistry Riri, Nico, dan Asti yang gue akuin memang kuat. Secara mereka bagian dari team that brought you AADC kali ya? Skoring Float yang keren, entah jadi nilai plus atau minus, karena gue lebih nikmatin musiknya daripada filmnya. Melongok pada Garasi (dan AADC, dan OST Mendadak Dangdut), apa mungkin Miles Production harus mempertimbangkan untuk konsentrasi di musik?
ya ya ya,,, [sambil manggutmanggut]
BalasHapusmaksutnya ngga' ngerti, soalnya belum nonton.. :p
belum nonton. tapi kesimpulan (sementara) gw riri riza adalah seorang pemain-aman. NIKO LAGI, NIKO LAGI!
BalasHapusSalah satu tulisan review lu yang paling keren, gw lebih suka daripada yg ditulis SI malah :-)
BalasHapusGw tapi gak bisa komentar lagi, belum nonton soalnya, nanti kalo udah nonton ta' mampir lagi.
Ini 3 komentar belum ada yang nonton kabeh piye tho iki..;p
nah gw pengomentar pertama di sini yg udh nonton filmnya (baru aja td malem).
BalasHapusya ya ya.. ya ya ya..
bingung mo nulis apa..
kayak gue bingung ama kesan yg diciptakan film itu.. serba nanggung..
nggak jelek.. tapi juga nggak bagus..
ya ya ya.. chemistry nya sih dapet..
tapi.. apa ya...
tapi..tapi...
BalasHapustapi apa vir? :D
gue udah nonton, dan film ini JELEK (font 100, ctrl B + U + I)
BalasHapusbud, JELEKnya kenapa?
BalasHapusbon, tapi apa ya...
gue dah nulis reviewnya di, mau dong dikoemntarin hehehe...btw salam kenal.
BalasHapus#bondy:
BalasHapusmenurut gue niko adalah seorang pemain aman. rangga lagi rangga lagi (lulus sma jadi aktivis mahasiswa yg side job-nya jadi pengantar rol film. setelah lulus jadi pemain biola gelisah yg jatuh cinta sama cewek yg lebih tua. ah...)
justru di sini karakter niko rada beda kecuali pas bagian dia ngatain ambar "manja!". untung gak dijawab "jadi salah gue? salah temen2 gue?"
hehe...
#mumu:
maybe i'm just too old kali ya :D