15 Juli 2006

244

Dulu itu, ngobrol sama Ang ketika kita sudah agak lama gak ngobrol. Waktu itu gue lagi depresi berat dan Ang bersedia mendengarkan curhat gue dengan imbalan makan malam di Cabe Rawit, tapi entah kenapa malah dia yang curhat duluan. Tentang proses yang sedang dia jalani. Mimpi yang sedang dia coba wujudkan. Gue pernah ada di situ, ikut ambil bagian walau sedikit. Mendengarkan dan mencatat kata-katanya. "Kita cuma pengen bikin sejarah."

"Kadang-kadang capek juga Ran."

Ngerti gue.

Pelan-pelan gue coba tanya. "Apa lo yakin ini benar? Apa ini bukan sekedar obsesi?"

Dia terdiam sejenak. Gue tau pertanyaan gue itu bukan untuk pertama kalinya dia dengar.

"Gak Ran, gue masih yakin," dia menguraikan panjang-lebar. "Entah kenapa tiap mentok selalu aja dikasih jalan."

Dan saat itu gue percaya. Gue percaya untuk dia.

Percakapan itu gue ceritain ke Anggi, di tengah kepulan asap rokok sebuah kamar petak rumah susun di pusat kota Jakarta.

"Kayanya dia obsesi deh," komentarnya waktu itu.

Dan gue menggeleng. Gue masih percaya.

Saat ini, Anggi sedang ada di tengah sesuatu. Dia memilih berada dalam sebuah lingkaran yang menguras waktu dan tenaganya dan gue tau dia gak harus berada di situ. Dan gue gak habis pikir.

"Kenapa lo bertahan?" pertanyaan itu bukan hanya sekali gue ajukan ke dia. Dan kemarin dia menjawab.

"Gue percaya mimpinya Angga."

"Mimpi lo gak kepenuhan di..." gue menyebutkan lingkaran lain yang dia ada juga di dalamnya.

"Bukan gitu. Angga punya mimpi, dan gue percaya itu."

Gue tercenung sesaat.

"Kayak gue percaya mimpinya Ang?"

"Ya, kayak gitu."

Perlahan-lahan gue merasakan suatu kehangatan.

Betapa indahnya orang-orang yang percaya akan mimpi.

2 komentar:

  1. Dreams are answers to questions we haven't yet figured out how to ask. ~ X-Files

    BalasHapus
  2. gue punya tendensi untuk percaya pada mimpi, kalo dalam mimpi itu ada 'tanda' atau kejadian yg sesuai dengan keinginan gue..hihihi..
    tapi kalo gak sesuai, gue anggep aja bunga tidur.. bhuahahaa..

    BalasHapus