01 Juni 2006

234

Kantor sedang membosankan jadi saya mengajak Soe Hok Gar nonton. Mungkin ada hubungan sebab-akibat antara kebosanan dan penurunan kecerdasan, sebab film yang kami tonton adalah Lentera Merah. Setelah 100 menit yang seolah tak ada habisnya, akhirnya saya keluar dari Regent sambil bertanya-tanya dalam hati, "Gimana caranya ke Astor yang murah kalo gue kepaksa nonton film kek gini lagi?"

Lalu kami bercakap-cakap.

"Ran, lu bikin review-nya ya."
"Gak, gak, gak," saya menggeleng-gelengkan kepala.
"Elu kan udah ikutan workshop menulis review. Ayolah. Nanti gua kirim ke Timbuktu Pos. Ada temen gua Badu di situ."
"Aduuuh gue gak sanggup deh."
"Semua overhead ditanggung. Tiket lu diganti."
"Gue mendingan bayarin lo daripada disuruh nulis."

Percakapan di atas, tentu saja, tidak sungguh-sungguh terjadi. Tapi saya sungguh-sungguh menyesal telah menjerumuskan Soe Hok Gar untuk menonton film ini. Makanya saya bikin posting ini. Sekedar menebus dosa. Saya peringatkan, mungkin akan banyak bocoran cerita. Ah, tapi gak penting juga sih. Saya memutuskan menggunakan pendekatan Marselli Sumarno yang saya dapat dari workshop yang disebutkan Soe Hok Gar di atas. Oh, saya lupa, percakapan itu cuma khayalan.

1. Tema dan maksud-maksud apa yang ingin dikatakan sutradara?
Kayaknya sutradara Hanung Bramantyo (termasuk juga penulis skenario Ginatri S. Noer dan entah siapa lagi yang ikut bertanggung jawab) ingin mengangkat suatu tema keren: pembantaian PKI tahun '60-an. Tak lupa jurnalis-jurnalis muda yang idealis dan kritis, mungkin sedikit radikal. Dan sebuah film horor yang tidak biasa, dengan hantu-hantu dan cara-cara kematian yang maunya lain dari yang lain. Oya, pesan moral film ini dibacakan dengan lugas di akhir film. Gak bakal kelewat deh.

2. Bagaimana peran masing-masing unsur dengan kontribusinya terhadap tema, maksud utama, atau efek totalnya?
Soe Hok Gar bilang, pembuat film ini pasti ngerasa apa yang ditulisnya keren. Dia memang suka sok berbakat cenayang, dan mulai membayangkan adegan-adegan proses kreatif yang tidak kreatif.
"Kayaknya seru juga tuh, kalo hantunya mahasiswa radikal, aliran kiri."
"Kayaknya keren ya matinya ditusuk-tusuk kartu. Kartu 6 sama 5!"
"Hantunya pasti gak bisa pake komputer. Pake mesin tik, keren gak?"
Dan seterusnya. Saya yakin sih kejadian sebenarnya gak begitu. Walo gimanapun hasilnya terasa seperti itu dan ada akal sehat yang terpaksa ditumbalkan. Kasian sekali.

Karakter-karakternya juga gak meyakinkan sebagai jurnalis yang dan seterusnya dan seterusnya itu. Judul-judul artikelnya memang sangar-sangar, tapi dari dialog-dialognya gak ada tuh yang tampak cerdas dan seterusnya dan seterusnya sehingga Lentera Merah jadi majalah yang segitu disegani. Dan tugas pertama para calon jurnalis yang bermisi menegakkan kebenaran ini adalah meliput tempat-tempat berhantu di UNI (ini singkatan dari Universitas Nasional Indonesia), menantang sekali. Oya, Hanung sendiri bilang, "Mereka semua stupid." Mau gimana lagi.

5. Apa reaksi personal kita terhadap film itu?
(Menurut Marselli Sumarno, ini nomer 5 tapi secara urutan bahasan gue kayaknya lebih enak ditulis di sini)
Film ini membuat saya sebal karena membuat saya takut. Tidak, tidak pake berhasil. Saya memang penakut, tapi film ini tidak membuat saya takut lewat bangun suasana yang mencekam. Darah menetes-netes, bedak putih-mata hitam, tangan terjulur, dan seterusnya dan seterusnya. Yeah, right. Saya cuma sebal karena dikagetkan, jadi sebenarnya film ini gak bikin takut. Cuma bikin kaget. Dan menggelikan. Tapi lebih banyak menyebalkan.

3. Bagaimana ambisi film itu terlihat dalam usaha-usaha penyajiannya?
Ambisi film ini adalah menakut-nakuti dengan keren.

4. Apakah film itu gagal atau berhasil, dan kenapa?
Kalo soal menakut-nakuti, seperti saya bahas sebelumnya, film ini malah bikin sebal. Kalo soal keren, menurut saya sih yang keren cuma tampangnya yang jadi Iqbal. Film ini gagal karena gagal tampil meyakinkan, yang disebabkan defisiensi akal sehat dari awal sampai akhir film. Tentunya bukan karena ini film hantu, toh setelah menentukan latar dan karakter, ada alur akal sehat yang harus dipatuhi. Baca saja tulisan Pak J.B. Kristanto.

Katanya latar belakang Hanung bikin film ini adalah karena tanggal lahirnya 1 Oktober yang selama bertahun-tahun diperingati dengan bendera setengah tiang (seingat saya biasanya bendera setengah tiang itu tanggal 30 September, tapi mungkin juga saya salah). Hanung lalu baca bukunya Soe Hok Gie (tidak ada hubungan sodara dengan Soe Hok Gar) dan mencomotnya sebagai judul. Haibat. Sangat berwawasan. Selanjutnya mungkin Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan... untuk film melodrama tentang suka-duka polisi lalu lintas. Walopun cuma diambil sebagai judul, film ini emang nampak terinspirasi sosok Soe Hok Gie. Bahkan setelah semua berlalu, Iqbal (yang agak-agak mirip Nicholas Saputra) diceritakan pergi ke Semeru. Kebetulan sekali ya.

Ngomong-ngomong di akhir film ada tangan terulur dan jreng-jreng... tangan siapakah itu? Biasanya di film-film horor ini standar buat ngegantung cerita, benar? Brarti hantunya masih ada, dan kita bisa mengharapkan kehadirannya taun depan, tanggal 20 Juli 2007. Mudah-mudahan saya tidak sedang bosan di kantor pada tanggal segitu.

2 komentar:

  1. Selanjutnya mungkin "Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan"... untuk film melodrama tentang suka-duka polisi lalu lintas.

    HUAHAHAHAHAHAHA!!! Semoga pihak yang berwajib membaca posting ini dan merasa bangga. hihihihi...

    NB: salam dari Soe Hok Gar, dia senang kok menonton film ini. alasannya, film ini mengandung 3 unsur, yaitu:

    komedi: krn dia suka terbahak2 mengikuti jalan ceritanya.
    komedo: krn lama2 keberadaannya mengganggu juga.
    komodo: lari.....!!! selamatkan akal sehatmu!!!!

    (sayang sudah bayar tiket, jadi hrs nonton sampe selesai)

    BalasHapus
  2. Wah Ran, cool!
    Semenjak gagal nonton Virgin, dan sangat jarang nontoin tv, jadinya gw lama banget gak nonton film Indonesia yang bikin ketawa

    BalasHapus