28 Januari 2006

Mendyung... Kantor gue (dan hari ini frase itu berarti ruang tamu rumah gue) kekurangan cahaya, jadi gue kembali menutup tirai, menyalakan lampu, dan kehilangan orientasi waktu (hey, berima!)

Ugh, ok, sekarang udah agak terang.

Beberapa waktu yang lalu akhirnya gue berhasil menyelesaikan buku Arundhati Roy ini, Cost of Living. Versi Bahasa Indonesia-nya terbitan Niagara. Terjemahannya lumayan rapi, cuma ada kesalahan-kesalahan yang gak perlu. Eh, tapi gue gak ngomongin itu ding.

Buku ini berisi dua esai Arundhati, yang pertama tentang bendungan-bendungan besar di India dan yang kedua tentang percobaan nuklir India. Bendungan-bendungan besar. Badu langsung komentar, "Apa menariknya!"

Menurut tanda tangan di depan buku, buku itu gue beli tanggal 05.02.'05. 5 Februari 2005, suatu sabtu siang di Gramedia Blok M (pinginnya ini jadi posting sendiri). Sempet gue baca tapi gak selesai dengan beberapa alasan: gak sempet, gak kebawa, males, terlalu berat, terlalu tidak menghibur. Ada satu lagi. Kemarin itu gue bikin profil video Indonesia Power, salah satu pembangkit listrik terbesar di Sistem Jawa-Bali. Belum nyambung? Ok, pembangkit terbesar kedua mereka, dengan kontribusi hampir 10% dan berperan vital sebagai pemasok listrik untuk Jakarta, adalah PLTA Saguling. Bendungan Saguling. Gue berhenti baca itu.

Terakhir ketemu Sonny, dia lagi nyiapin proposal untuk film dokumenter tentang Citarum. Jadi gue baca lagi buku itu. Gue harus tau gue ada di mana. Kali ini dokumenter beneran, bukan profil perusahaan. Setidaknya, maunya begitu.

Jadi...?

Jadi gue masih tersesat. Indonesia bukan India, memang. Tapi apa kita cuma punya Kedungombo? Mungkin masalah di India yang digambarkan oleh Arundhati[1] memang tidak terjadi di Indonesia. Gue cuma bisa menduga-duga kenapa. Pembangunan bendungan di Indonesia sampai saat ini masih banyak di Pulau Jawa[2] , yang relatif lebih maju dari daerah lain di Indonesia. Lalu ada solusi alternatif seperti transmigrasi. Di India, yang jadi korban adalah kaum Adivasi, penduduk asli. Setelah tergusur, mereka tinggal di pemukiman relokasi, yang dalam bayangan gue mirip rehabilitasi Indian di Amerika atau kamp pertanian di Grapes of Wrath-nya Steinbeck. Duh![3]

Gue pikir ada kesamaan antara Indonesia dan India dalam "hal-hal besar". Kita pemuja hal-hal besar. India: bendungan besar dan bom nuklir. Indonesia?

Jaman sekolah dulu diceritain kalo Bung Karno adalah penganut politik mercusuar yang meruntuhkan ekonomi Indonesia[4]. Monas. Gelora Bung Karno d.h. Istora Senayan d.h. Gelora Bung Karno[5]. Apa lagi ya?[6] Di jaman orde baru gue gak terlalu ingat ada sesuatu yang besar secara itu, tapi sekarang kita sudah punya lagi: nasi goreng terpanjang di dunia, mi instan terbesar di dunia, ongol-ongol terbesar di dunia. Big deal!

Bukan kebetulan kalo Arundhati adalah pengarang The God of Small Things. Mungkin gue keilangan poin di sini, atau enggak? Literatur yang agak baru yang gue baca selalu menyebutkan potensi bahaya bendungan terhadap lingkungan. Perubahan hidrologi, perubahan vegetasi, gitulah. Alternatifnya adalah PLTA sistem run-of-river, atau dalam skala lebih kecil pembangkit listrik tenaga mikrohidro[7]. Ada artikel di Tempo soal ini, sayang gue gak bisa nge-link. Kayanya ini ide bagus, terutama untuk skala desa atau kecamatan. Gak perlu bendungan besar, gak perlu SUTET. Ini perpanjangan ide dari suatu daerah menghidupi daerahnya sendiri, sehingga gak perlu distribusi barang jarak jauh, menghemat BBM, menurunkan harga. Ah, ngimpi kali ye...


[1]3.300 bendungan besar yang menenggelamkan tempat tinggal untuk sedikitnya 33 juta orang.

[2]Angkanya pun gak sebanyak itu, tapi jangan tanya berapa ya ;P

[3]Tadinya gak kebayang kalo hal seperti itu bakal ada di Indonesia saat ini, tapi lalu gue nonton Serambi. Cepet banget kita gue lupa ya?

[4]Hey, gue sekolah di jaman orde baru geto lohh...

[5]Kayak St. Petersburg aka Leningrad aka St. Petersburg. Hehe, gue lagi baca Icon lagi.

[6]Gue gak pernah bagus dalam sejarah euy, parah.

[7]Sejujurnya gue masih rada bingung sama dua istilah ini, hehe. Maafkan, saya akan berusaha lebih keras lagi.

3 komentar:

  1. Bagaimana tentang Ikan Paling Kecil Sedunia yang ditemukan di rawa-rawa Sumatra minggu lalu?
    Indonesia, land of the small swampthings :D

    http://www.nhm.ac.uk/about-us/news/2006/jan/news_7501.html
    http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/4645708.stm

    BalasHapus
  2. denger gosip-gosip dari infotainment di India, buku petualangan Arundhati Roy itu awalnya mau dikasih judul "Balada si Roy". tapi nggak jadi karena mereka merasa pernah denger judul itu dipake di mana gitu... :D

    BalasHapus
  3. gue rasa ikan-paling-kecil-sedunia itu bukan asli indonesia. pasti impor. atau jangan2 bukan ikan beneran idea gue rasa itu nanorobot buatan jepang... atau buatan amerika! punya CIA, pasti! untuk memata-matai kegiatan terorisme di indonesia. dasar antek zionis!

    BalasHapus