15 Januari 2006

9 Naga adalah film yang seharusnya bisa jadi sangat bagus tapi jadinya hanyalah sebuah film di mana satu-satunya alasan gue tidak tidur adalah Fauzi Baadila ;P

Hehe, ok-lah, hampir berlebihan sih. Tapi gini, bayangkan sebuah film Indonesia yang bercerita tentang pembunuh bayaran. Ada pistol. Ada darah berceceran. Ada Torro Margens. Ada kejar-kejaran sama polisi. Yang kebayang kan langsung:

1) Reinkarnasi
2) Segmen Rizal Mantovani di Kuldesak di mana Bianca Adinegoro dikerangkeng. Wekkks!

Sebagai sutradara, Rudi Soedjarwo berhasil menghindari lubang-lubang yang sangat potensial menghasilkan film laga ala Cynthia Rotrock dan Frank Zagarino, tetapi—maaf—TETAPI Rudi malah terperosok ke lubang yang lain: melankolisme. Plot film ini secara garis besar adalah 30 menit babak pertama lalu sekitar sejam videoklip yang berlarat-larat dengan 2-3 adegan penting di antaranya. Sayang banget karena di luar itu, Rudi sebenarnya menyutradarai dengan sangat baik.

Melankolisme Rudi Soedjarwo menyumbang sekitar 25% kejelekan film ini. Sisanya gue timpakan pada skenario. Aduuuuh... itu cerita HARUSNYA BISA logis tanpa ngerusak pesan yang mau disampaikan, tapi kenapa-oh-kenapa ceritanya GAK LOGIS SAMA SEKALI! Gue gemes banget. Ini yang bego si Marwan, komplotan yang nyari-nyari dia, atau gue sih?[1] Trus bahasanya, ada kali ya preman ngomongnya kaya gitu? [2]

Salah satu komentar di ulasan film 9 Naga Sinema Indonesia bunyinya
anak menteng nekad bikin film tentang anak priok, ya kayak gini jadinya(mamokaka)
Gue gak tau apakah komentar itu serius ato becanda. Gue sempet mau setuju sama komentar itu [3] tapi lalu gue pikir gak adil kalo gue berpikiran kaya gitu [4]. Mengingatkan gue sama ketika Totot Indarto membantai skenario Pasir Berbisik di Kompas.

Generasi baru pekerja film ini mewakili potret kelas menengah kota dengan segala simbol atau citra yang melekatinya (lulusan sekolah luar negeri, pelanggan toko buku Aksara atau QB, doyan ngopi di Dome atau kafe-kafe di mal besar, dan seterusnya). Karena itu sebetulnya agak aneh mengapa mereka memilih tema yang tidak mereka kenal dekat-hubungan ibu-anak di sebuah desa-untuk difilmkan
(Mencari Problem ke Antah-Berantah, 2 September 2001)

Tulisan itu seminggu kemudian ditanggapi oleh Tommy F. Awuy.

Kecerobohan Totok menilai skenario film ini berangkat dari ketidakjeliannya melihat narasi sejak awal dan akhir film ini dan kegagalannya memahami setiap dialog yang penuh kiasan. Lebih fatal lagi ketika ia mencampuradukkan teks film itu sendiri dengan subyek pembuatnya yang justru di sinilah Totok telah mengumbar analisa lewat kalimat-kalimat yang tak bermakna. Apa hubungannya dengan substansi cerita dengan para pembuatnya yang gemar nongkrong di kafe?
(Membela Skenario "Pasir Berbisik", 9 September 2001)

Gue pikir apakah seseorang tinggal di Menteng atau di Priok atau di Cinere atau di Senen, apakah seseorang suka nongkrong di kafe atau di warteg atau di lapo tuak atau di rumah makan bundo kanduang, tidak berpengaruh langsung kepada apakah seseorang bisa menulis tentang seorang penjahat atau tidak. Jadi yang gue maksud tidak adil adalah jangan liat Menteng-nya atau nongkrong-di-kafe-nya, liat aja hasilnya yang mana untuk kasus 9 Naga menunjukkan bahwa penulisnya emang gak bisa nulis tentang dunia penjahat. Hehe, trus ngapain ngutip kiri-kanan di atas?

Tapi kalo kalimat pertama itu gue hampir serius. 9 Naga punya cerita yang bisa bagus, penyutradaraan yang hampir bagus banget, akting yang bagus banget, sinematografi dan artisitik yang bagus. Kalau aja semua unsur-unsur di atas tanpa ragu-ragu jelek banget, gue gak akan sekesal ini sama film ini.


[1]Yeah, kita tau siapa sebenarnya yang bego, hehe.

[2]Preman lulusan Amerika-kah? Huhuuu gue merasa tidak pada tempatnya gue memaki-maki begini tapi gemana doung... Mungkinkah kalo gue nulis pake Indoglish tidak terlalu kerasa memakinya?

[3]Gue gak komentar di Sinema Indonesia karena untuk komentar harus jadi anggota multiply dulu dan gue males.

[4]Lagi, gue gak tau yang komentar itu serius ato becanda jadi gue gak tau dia adil atau enggak.

3 komentar:

  1. wah, menarik. soalnya gw baru aja posted review gw soal film ini, dan komen kita banyak yg beda.
    :)

    BalasHapus
  2. oh, tapi yg jelas ada satu kesamaan kita..
    Berusaha nulis dalam bahasa Indonesia doang.
    :D

    BalasHapus
  3. hehe gue baru aja nulis pake bahasa inggris lageh... *ga konsisten*

    BalasHapus