28 September 2005

Tentang Weekend Kemarin. My best mate Dewi's got engaged. So, in a few months, that will be three out of nine.

Hmm... masih berenam, hehe. Kalo kata tante yang satu ini,
And before you know, you're feeling old
And your heart is broken...[1]

La misma noche que hace blanquear los mismos árboles
Nosotros, los de entonces, ya no somos los mismos
[2]

Tentang Weekend Dua Minggu yang Lalu.
"Kesalahan Abraham (ketika sampai ke tanah yang dijanjikan) adalah dia gak pernah baca Rich Dad, Poor Dad."
-Johan, suatu sore jeprut di Melrose

What did I do on that very weekend? Tidur, tidur, tidur, dan, in-between, baca Cashflow Quadrant. Yep, I'm serious. Tapi ga bener-bener baca siy, cuma quick scan sampe bab tigaan gitu.

Kayanya dulu juga pernah baca sih barang satu-dua bab. Rich Dad, Poor Dad juga. Kalo kemarin baca, sebenarnya ketika gue nyampe rumah di Serpong, kebetulan aja gitu buku itu ada di kamar gue.

Kesimpulannya? Teuteup... Saya seneng berada di sebelah kiri kuadran, jadi orang E/S. Mungkin alasannya emang security. But... really? Setaun yang lalu I was about to give up my steady job untuk sebuah proyek lepas yang bahkan belum deal. (Untung juga gak jadi sih, 'cause I'm doing the project right now and, umm, the payment was not as good as I expected, hehe. Sori bos, I DO need this project, 'tough)

What did I want to say? I guess, setiap orang udah punya tempatnya sendiri-sendiri. Ok, kalo gue, mungkin salah satunya—harus diakui—adalah kemalasan. Malas berpikir tentang orang lain, lebih senang mengurus diri sendiri.

But somehow my-so-called principle (or lazyness or stubborness or whatever) is shaken.

Tentang *glk* Indonesia. Ah, siapalah gue ngomongin Indonesia. (hmm, gue pingin cerita Blink dan Soros dan obrolan gue sama Hendi, tapi kayanya asikan baca bukunya dulu kali ya...) Gue gak selalu setuju sama Faisal Basri, but this one does make sense.

Apa benar impor beras untuk kepentingan petani? Jelas tidak. Apa pun alasannya, apalagi dalam keadaan stok beras dalam negeri cukup memadai, mengimpor beras adalah kebijakan yang tidak bisa diterima akal sehat dan mengusik rasa keadilan. Kalau alasannya adalah untuk menjaga stok beras yang dikuasai oleh Bulog yang terus akan terkuras karena harus menyalurkan raskin (beras untuk rakyat miskin) sebanyak 180.000 ton setiap bulan, mengapa pemerintah tak membeli saja beras dari petani?

Pemerintah beralasan bahwa kalau cara tersebut yang ditempuh, maka harga akan melonjak. Kekhawatiran ini memang logis, tetapi bisa diredam seandainya pemerintah melakukan pembelian gabah kering panen atau gabah kering giling, ataupun beras di tingkat petani secara patut dan cerdas.

Katakanlah pemerintah lebih aktif turun ke hanya 100 kabupaten yang surplus beras, maka pembelian rata-rata di setiap kabupaten hanya setara dengan 2.500 ton beras.

Cara demikian diyakini tak akan membuat harga melambung.

Kalaupun, katakanlah, pemerintah membeli beras dengan harga Rp 4.000 per kilogram lalu menjualnya ke pasar dengan harga Rp 3.500 sesuai dengan harga ”toleransi”, maka subsidi sebesar Rp 500 akan jauh lebih bermanfaat ketimbang cadangan devisa kita yang sudah kian mengering dibelanjakan untuk impor beras.

Mengapa pemerintah sedemikian kikirnya, tak mau menyisihkan dana hanya sebesar Rp 125 miliar untuk membantu petani? Bukankah uang sebanyak itu tak ada artinya ketimbang subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang menyedot dana mendekati Rp 100 triliun?

Bukankah subsidi seperti itu jauh lebih kena sasaran ketimbang pemberian uang Rp 100.000 sebulan untuk keluarga miskin yang notabene paling banyak berada di pedesaan dan hidupnya bertopang pada sektor pertanian?

Bukankah subsidi ini juga dinikmati secara riil oleh masyarakat lainnya yang merupakan konsumen beras karena pemerintah menjual dengan harga yang lebih murah?


Kenapa sih kita terjebak sama solusi-solusi plester (terjemahan bebas dari band-aid solutions, hehe). Dulu JPS, yang terbukti dikorupsi. Gue inget dulu dapet tugas PPTTG, disuruh bikin skema penyaluran JPS. Waktu itu gue ngobrol sama Dhanang dan ide gue kira-kira adalah dana itu dijadiin modal atau apalah. Gue gak inget banget tapi yang gue banget-banget inget adalah kata Dhanang, JPS itu harus disalurkan untuk tujuan konsumsi, bukan produksi.

Dan sekarang juga gitu. I know seratus ribu itu gede, tapi itu kan gak menyelesaikan masalah. On the contrary, itu malah gak mendidik, ya gak sih? Belom lagi kalo lo dapet dan tetangga sebelah lo gak dapet atau sebaliknya.

Gue jadi mikir bahwa orang-orang kayak Novin yang udah berada di sisi kanan kuadran itu udah memberdayakan 20 orangan (so he said kalo gue gak lupa). Jauh lebih riil daripada membagikan 20x100.000=2.000.000 rupiah sebulan. Sementara gue semacam keenakan di sisi kiri kuadran, terlalu selfish untuk mikirin orang lain. Padahal, udah dimodalin rakyat untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia (cuih...), ah ya, retorika-retorika aktivis gitulah, I must give sumthin back to the people.

Huhu... harusnya ada cara lain ya? Masih buntu nih.



[1] Madonna, This Used To Be My Playground

[2]Pablo Neruda, Puedo Escribir los Versos Más Tristes Esta Noche




1 komentar: