31 Agustus 2005

SC Barat ITB, 2001. Beberapa wartawan lokal mengerumuni sosok berambut putih yang tampak lelah namun tetap berkharisma itu. Saya ada di antara mereka, terlalu gugup dan tidak berpengalaman dan kagum untuk mengajukan pertanyaan.

Waktu itu suhu politik nasional sedang genting. Demonstrasi menuntut Gus Dur turun sedang marak-maraknya. Wartawan-wartawan beneran itu tentunya menanyakan hal itu, juga kemungkinan Nurcholis Madjid—Cak Nur—sosok kharismatik itu mencalonkan diri menjadi presiden. Semua dijawab dengan lugas dan fair.

Saya tidak tau banyak tentang pemikiran Cak Nur. Saya belum baca buku-bukunya. Tapi saya sependapat dengan apa yang disampaikan beliau pada diskusi sebelumnya, tentang kita, tentang Indonesia, tentang analogi orang-padang-software-dan-orang-jawa-hardware (dan ketika beliau tertawa waktu Rio teriak "Virusnya Orang Batak, Pak).

Mungkin ini adalah ingatan yang terlalu gak penting tentang sekali-kalinya saya ketemu Cak Nur.

Sama tidak pentingnya, tapi saya ingin bilang, saya berduka dan kehilangan.

3 komentar:

  1. Lembing
    Goenawan Mohamad

    Lima hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di sebuah masjid kecil
    di Jalan Talang di Jakarta, seorang khatib berbicara tentang sesuatu
    yang menakutkan: dengan sebuah otoritas yang ia kesan-kan melalui
    mihrab dan kata-kata Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia
    mengatakan bahwa wajah je-nazah almarhum menghitam, kata sang pemberi
    khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan….


    Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu apa
    peran dusta. Saya tidak tahu untuk apa fitnah—terutama dari sebuah
    posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah diulang, dan yang
    benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.


    Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan sampah.
    Sampah itu bernama kebenci-an: buangan dari zaman ini. Salah sa-tu
    ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat guyah, penuh cemas, dan
    genting—dan kebencian, biarpun berbau busuk—adalah sebuah mantra
    untuk menemukan kekuat-an yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di
    sebuah dunia yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang
    merasa hanya patut beriman bila mereka tampil dengan wajah sengit.
    Marah terus-menerus kepada sekitar telah jadi semacam perisai, dan
    kata-kata te-lah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang
    para "ahli agama dan lembing katanya".


    Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang percuma. Lawan
    dalam pikiran, sengketa dalam pendapat, bentrok dalam keyakinan,
    adalah bagian dari ketegangan yang tak pernah dapat diselesaikan
    dalam hidup. Tuhan tak bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada.
    Ketika kata menjadi lembing, apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa
    dibinasakan? Bahkan sejarah—dan dalam hal ini kita bisa berbicara
    tentang sejarah agama-agama—adalah sejarah pembantaian yang tak
    menyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana saja, kapan
    saja, dan oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling
    melenyapkan, Katolik dan Protestan tak kunjung mampu saling
    meyakinkan.


    Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan tidak adanya
    ilusi. "Tidak ada paksaan dalam agama," demikian kata Quran: tidak
    ada kekerasan, dalam laku dan ucapan, yang akan dapat membuat
    keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal yang selalu ber-gerak
    antara "tertangkap-menangkap" dan "terlepas-melepas". Yang universal
    tampak sebagai kaki langit yang bila digapai selalu menjauh—tak henti-
    hentinya. Tiap konsensus mengandung ketidakbulatan. Manusia berpikir,
    berbicara, dan menafsir apa saja—juga Sabda Tuhan—senantiasa dalam
    waktu dan dalam cacat.


    Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakin-an agama pada
    akhirnya melahirkan kesadaran, bahwa t-idak ada satu kepala yang bisa
    menentukan arah apa yang terbaik dari yang ada. Pemimpin dan khalifah
    berganti dengan atau tanpa dikecam. Bertahun-tahun kemudian, setelah
    pengalaman yang lama, demokrasi datang se-ba-gai cara mengatasi
    kekosongan itu. Demo-krasi ada-lah hal yang tak bisa diingkari jika
    kita sadar akan kefana-an. Demokrasi sebab itu bagian dari ketegang-
    an, tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan kebencian, jika kebenci-
    an membuat yang nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan
    kekal.


    Ada banyak peninggalan ke-arifan Nurcholish Madjid untuk orang In-do-
    nesia, dan salah satunya adalah bagaimana memahami dan meng--hadapi
    ketidak-kekalan. Ketika Gol-kar b-egitu dominan, ia mem-ihak Partai
    Persatuan Pembangunan. Ke-tika di bawah Presiden Soeharto dan kekuasa-
    annya pemilihan umum b-egitu kotor dan kasar, ia mendukung gagas-an
    Komite Independen Pemantau Pe-milu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto
    akhirnya bertanya kepada sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum ia
    turun takhta, Nurcholish juga yang mengatakan bahwa sang Presiden
    yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih baik turun. Yang berkuasa
    atau tidak, akan selalu bertemu dengan batas.


    Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-
    kekalan manusia dan toleransi kepada iman dan pendapat orang lain.
    Kesulitan para penganut agama ialah ketika mereka menduga bahwa
    ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang kekal yang
    mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah,
    tapi selalu ia di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi.
    Nurcholish adalah guru tentang kerendahan hati.


    Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan.
    Kebencian selalu menjadi angkuh—tetapi kali ini angkuh itu menjadi
    angkuh karena sebenarnya ada yang membuat ragu, cemas, dan rapuh.
    Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus asa, tapi
    sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan keyakinan-
    keyakinan berubah. Kekuat-an sebuah firman tidak datang dari kata
    yang terhunus bagaikan lembing. Ya, Nurcholish adalah guru tentang
    kata-kata yang tidak menusuk, tidak berteriak.


    Goenawan Mohamad

    BalasHapus
  2. Eh, Ran,beliau bilang itu softwarenya bukan orang Aceh ya? Yang selalu aku inget sih orang Aceh. Tapi aku juga tidak terlalu yakin. Mungkin saya yang salah. Yah, saya berduka.

    BalasHapus
  3. hmm... gw kok ingetnya padang (minang, maksudnya). bung hatta, sjahrir, hamka. mungkin tepatnya melayu atau sumatera?

    BalasHapus