10 Juli 2005

Ada artikel norak di Intisari bulan ini. Bercerita tentang budaya ngopi orang Indonesia terkait dengan hadirnya kedai kopi waralaba asing di kota-kota besar.

Pertama soal pengetahuan. Narasumber artikel itu bilang apresiasi. Banyak orang Indonesia, termasuk pengunjung di kedai-kedai waralaba itu, yang belum ngerti apa itu espresso, cappuccino, dan latte.

Kedua, kutipan langsung dari narasumber yang manajer pemasaran salah satu kedai tersebut di atas, "Cara minum kopi dan teh orang Indonesia memang masih salah." Dan jangan salah, yang ngomong itu orang Indonesia lho.

Kirain cara minum yang salah itu kopinya dituang ke telinga atau gimana gitu. Atau dituang ke pisin (piring kecil) terus diseruput (haha, pernah minum dengan cara gini kan waktu masih kecil? tapi itu masih diminum lho). Ternyata cara minum yang salah itu adalah:
1. Langsung diteguk, bukannya diseruput pelan-pelan dengan gaya aristokrat.
2. Kopi—khususnya espresso—yang dikasih gula banyak-banyak.

Kalo soal kopi yang dikasi gula kebanyakan sih mengingatkan gue sama Mas Ulul dan Wildan. Dulu kalo bikinin kopi buat Mas'Lul pasti aja kurang manis. Sebaliknya, kalo nyicipin kopinya Mas'Lul pasti kemanisan. Dan gue selalu mencela, "Dasar orang Jawa. Kopi kok manis. Itu mah air gula dikasih kopi." Jawabannya Wildan, "Dasar orang Sunda gak bisa menikmati hidup. Hidup itu udah pait, makanya harus dibikin manis." :)

Soalnya budaya ngopi di Indonesia kali dari warung-warung kopi, dengan kopi tubruk kentel manis dalam gelas tinggi buntek. Bayangin kalo diseruput, berapa jam abisnya. Minumnya sih pake tata cara juga. Kaki sebelah diangkat, tangan nyomot pisang goreng, sambil ngobrolin isu-isu aktual seperti hasil panen atau siapa baru beli sapi berapa. Kalo warkopnya di daerah mahasiswa, yang diobrolin tentunya menyangkut masa depan bangsa seperti apakah si A sudah putus sama cowoknya atau mending mana nokia 6680 sama sony ericsson k700. Gitu deh.

My point is, budaya itu kale, yang dibawa ke kedai kopi waralaba asing (puih, ini istilah males banget). Ya mungkin salahnya di situ. Kalo emang pingin ngopi di sana, tata cara yang mesti dipakek emang tata cara bule. Aturan benar-salahnya juga versi bule. Minum kopi tubruk glek-glek-glek dianggap tidak mengapresiasi kopi. Mengapresiasi kopi adalah dengan secangkir keciiiil double espresso tanpa gula yang diseruput pelan-pelan sambil ngomongin nilai tukar dolar-rupiah ditemani musik jazz.

By the way, gue nulis ini sambil menyeruput secangkir kopi susu bikinan sendiri, di rumah, di depan PC (bukan laptop+blutut). Menyeruput bukan karena apresiasi, tapi sayang aja gitu kalo cepet abis.

Mungkin bukan artikel itu yang norak tapi guenya aja yang norak 'coz I can't afford hangin' in Starbucks or Coffe Bean. Olala...

2 komentar:

  1. hehehehe...

    BalasHapus
  2. "Kalo warkopnya di daerah mahasiswa, yang diobrolin tentunya menyangkut masa depan bangsa seperti apakah si A sudah putus sama cowoknya atau mending mana nokia 6680 sama sony ericsson k700." ----> hahaha, tulisan ini tukgling tenan! KEREN!

    dan apakah sampeyan norak atau nggak, itu tidaklah menjadi soal. (tapi menjadi jawaban. *alah!*) sebab kalopun norak, yg penting "norak-norak bergembira". ayo nyanyi!

    "...norak-norak bergembiiiiraaa... bergembiira semuaaaa..."

    [salam kangenku buat Si Mas Abang Sporty] :P

    BalasHapus