10 Februari 2005

Jakarta-2. Kayanya ini masalah persepsi, obrolan gue dan Shafiq pada malam setelah gue nyerahin surat pengunduran diri gue. Kita ngobrol tentang Jakarta dan ketika Shafiq bilang load kerjanya gila-gilaan, suasananya bikin stress, dan macetnya kaya neraka, gue bilang, “Gue senang kerja di Jakarta.”

Dan terus gue ketawa. “Gue gila ya?”

Setelah gue pikir-pikir, gue tidak cinta Jakarta.

At least, not exactly. Gue dan Jakarta punya love/hate relationship yang terbangun atas momen. Saat.

Saat gue turun tangga di Stasiun Tanah Abang, mendengarkan orkes klakson dan berkata ke diri gue sendiri, “Welcome to Jakarta.”
Saat gue ngobrol sama Pak Pulisi sambil mendengarkan orang demo di BI.
Saat gue melihat pekerja konstruksi tanpa PPE dan melanggar semua peraturan K3.
Saat gue diwawancara sepanjang perjalanan Kedoya-Kemang sambil berpikir, “Do I really want this job?”
Saat gue liat matahari sore bergerak pelan di latar gedung-gedung bertingkat.
Saat gue liat citylight dari meja Ady di lantai 10.
Saat gue lewat Jalan Sudirman yang luar biasa lengang di Sabtu jam dua pagi.

Those countless moments. Those moments that I love/hate. Those moments that I’m gonna miss.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar