30 Januari 2005

Saya beli KOMPAS Jumat kemarin, selain karena liputan khusus properti dengan head "Bisnis Properti Masih Tetap Menjanjikan" (hehe, c'mon Mr.Sweet River, ur comment pls), juga karena momen 100 hari-nya pemerintahan SBY memunculkan sejumlah artikel menarik. Quick skimming, dan mata gue menangkap sepenggal dari tulisan Gadis Arivia, SBY dan Pusar Perempuan.

BILA SBY menganggap pelarangan pusar perempuan justru dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan, ia salah besar. Pendekatan pusar perempuan SBY bukan dilakukan dalam kerangka kerja semangat egalitarian dan HAM melainkan semangat konservatisme/kodratiah/ esensialis yang justru menguatkan peran domestikasi perempuan. Lebih gawat lagi, pencampuran tangan pemerintahan SBY terhadap pusar perempuan melanggar tiga prinsip pluralisme-demokrasi.

Oh, ok, gak fair menilai sebuah tulisan hanya dari paragraf ketiga terakhir. Jadi saya membaca dari awal dan menemukan sedikit benang merah. Tapi tetep aja,

That's too much. Jaka sembung!

Yes, terlalu cemen kalo seorang presiden mengurus masalah pusar, tapi menariknya ke masalah domestifikasi rasanya terlalu jauh juga.

Dalam tatanan masyarakat patriarkis, konstruksi sosial budaya atas tubuh perempuan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksualitas perempuan sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki. Jadi, pusar perempuan menjadi masalah, tetapi pusar laki-laki dianggap biasa
saja. Di sinilah bias jendernya.


The thing is, ada berapa banyak sih pusar laki-laki yang beredar di TV dibanding pusar perempuan. Let's do the math. Mungkin masalah SBY cuma dia menyederhanakan masalah menjadi "pusar perempuan". Mbok ya pakek kalimat yang sophisticated dikit gitu.

Pada negara yang otoriter selingkuh antara eksekutif dan legislatif sudah biasa, tetapi pada negara yang represif dan diskriminatif terhadap perempuan perselingkuhan bertambah menjadi permainan threesome; eksekutif, legislatif, dan agama satu ranjang. Dalam masyarakat plural yang mengandung semangat demokrasi, ada tiga prinsip yang menjadi acuan, yakni pemisahan antara agama dan negara, prioritas pendekatan hak dan bukan ide-ide kebaikan/moralitas tertentu, serta jaminan kebebasan ekspresi individu.

Kalau Mbak Gadis melihat masalah pusar dan ketidakberdayaan perempuan dua-duanya bermuara pada patriarkisme, gue kok tetap melihat keduanya berbeda ya. Tapi jujur aja sih, terlepas dari alirannya yang banyak, gue gak pernah utuh-utuh bisa memahami feminisme. Pertama, mungkin karena kurang banyak membaca, harus diakui ;P

Yang kedua, karena gue terlalu berjarak dari masalah kali ya? Soalnya selama ini gue gak pernah punya masalah serius dengan bias gender. Bukannya gak ada sama sekali, cuma masih pada level yang bisa gue kontrol.

(Aduh, kok tulisan ini jadi terasa tidak fokus ya? Pesan lama memang masih tetap ampuh "jangan lupa nge-save, apalagi kalo ngetik pake notepad" ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar