22 November 2004

Hari Ini Setaun yang Lalu (Atawa One Thing Lead to Another...and Another...and Another...)
Jam delapan pintu kamar saya udah diketuk. Blingsatan saya nyambar jaket dan kerudung.

"Mbak, mau pulang ke Jawa?"
Saya mengangguk agak bingung ke arah penjaga hotel separuh baya itu.
"Ada pesawat tambahan ke Sorong. Tadi orang di bandara telepon saya."

Saya gak sempat bingung lama-lama. Langsung saya iya-kan tawaran si bapak itu, memberi tau Pak Slamet--"anak buah" saya, dan packing secepat yang saya bisa. Untung dari kemarin-kemarin saya sudah bersiap untuk cabut kapan saja, walaupun nyaris tanpa harapan untuk dapat tiket. Dan akhirnya saya tinggalkan juga kamar empat kali empat meter dengan AC yang remote control-nya hilang itu.

Awalnya, mungkin, satu sesi kesra di warung steak boong-boongan di Jalan Sumatra, satu atau dua bulan sebelumnya. (Warung yang tidak direkomendasikan oleh Ibu Cicin tapi, hey, kita mementingkan kuantitas di atas kualitas. Lha wong makan steak-nya pada pakek nasi gitu loh...) Sebagai produser sebuah film pendek yang diproduksi satu setengah taun sebelumnya (buset deh...) saya merasa berkewajiban memberikan kesejahteraan kepada beberapa mulut kelaparan yang jadi kru saya.

Lalu Fajar-the-cameraman meng-SMS saya, memberitahukan bahwa seniornya di lab mencari anak TL untuk sebuah proyek di Papua. Saya mencatat dalam hati bahwa SMS itu secara tidak langsung berhubungan sebab-akibat dengan kesra tersebut di atas, karena saya sempat lama jadi kaum marjinal tidak ber-HP dan tanpa kesra itu Fajar nggak bakal tau nomer HP saya.

Itu kira-kira tanggal 6 atau 7 November 2003. Tanggal 13 November malam saya ada di penerbangan Jakarta-Jayapura, lalu Jayapura-Biak 16 November siang, dan akhirnya Biak-Fakfak, subuh 17 November.

Fakfak buat saya...kota kecil yang menyenangkan--in its own way. Mungkin karena saya tergila-gila dengan ide kota kecil, atau mungkin hanya menyenang-nyenangkan diri saya sendiri aja biar gak (terlalu) stres. Yang jelas, tidak seperti Jayapura yang kereng, saya bahkan berani jalan-jalan sendiri di malam hari. Orang-orangnya ramah. Yang disebut kota sebenarnya cuma seruas jalan tempat what-so-called hotel saya berada itu aja. Topografinya ekstrim banget, awfully hilly (yang menimbulkan masalah pada sistem distribusi air bersih, but we're not talking about that). Buat penggemar duren, Fakfak mungkin serasa surga. Saya yang gak suka duren cukup bahagia menemukan restoran chinese food yang bisa memasak dengan baik dan benar walaupun harganya cukup mahal, bahkan untuk ukuran Papua.

Masalah dengan Fakfak adalah, hard to come, even harder to go. Pesawat susah banget dan waiting list sangat panjang. Orang bisa berkelahi gara-gara rebutan tiket. Kenyataan itu yang harus saya hadapi ketika saya baru sampai. Point of no return.

Jangan salah. Seperti udah saya bilang, saya sih betah-betah aja di Fakfak. Hanya saja it was just few days before Lebaran, hari yang se-ndablek2-nya saya tetap aja sakral. Hari untuk dirayain bareng keluarga.

Saya tidak pernah merasa jadi orang yang terlalu religius. Secukupnya aja menurut standar umum. Mungkin kurang menurut standar orang berjilbab, kalau memang standarnya beda. Seorang teman malah pernah bilang saya kekiri-kirian justru ketika saya sedang merasa kekanan-kananan (yang kemudian membuat bingung, apa sih kiri dan kanan?). Tapi mungkin pengaruh bulan Ramadhan, saya cenderung memaknai hari-ini-setaun-yang-lalu dengan religius. Semacam Ramadhan miracle gitu.

Karena mendapat tiket tidak mudah. Pak Yulius (belakangan dari Afrie saya baru tau panggilannya Mas Tok), orang Toraja nan halus dan baik hati yang kebagian sial harus nyariin tiket buat kita itu bahkan sampai melobi ketua DPRD segala. Sementara batin saya perang. Dapet tiket berarti ngembat tiket orang lain. Kasarnya mencuri, atau setidaknya, mengambil yang bukan hak. Walaupun sama-sama bayar dan mungkin bahkan lebih. Sementara itu seingat saya baik di Quran maupun hadits nggak ada perintah untuk merayakan Idul Fitri sama orang tua. Tapi toh saya ingin pulang.

Jadi ketukan pintu di pagi hari itu benar-benar terasa seperti keajaiban. Bukan saja karena ada pesawat, tapi juga karena pesawat itu pesawat tambahan, artinya di luar jadwal rutin, artinya saya tidak mencurangi jatah siapapun. Artinya saya bisa pulang dengan hati enteng. Sepanjang jalan dari hotel ke bandara, selama menunggu pesawat, dan hingga akhirnya naik ke pesawat dan take-off, saya masih berdoa, takut ada apa-apa. Rasanya saya baru bisa bernafas lega ketika sore harinya, di Sorong, saya akhirnya menggenggam tiket ke Jakarta.

Ternyata "naif" tidak selalu membawa ketidakberuntungan (tapi juga platinum album--aduh!maaf, tolong hentikan saya mulai garing)

(posting ini dibuat untuk mengingatkan saya jikalau kapan-kapan ngalamin perjalanan jeprut lagi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar