632

Tuhan itu memang Mahalucu ya?

Maliq tertinggal di bis Semarang-Solo. Kenapa bisa ketinggalan? Kenapa Semarang-Solo? Ini cerita soal satu hal memicu hal lain yang memicu hal lain dan seterusnya.

Gue ke Kebumen menghadiri kawinan Jiman dan Emmy. Di gereja, haha. Detail ga penting. Rencana awal adalah minta diantar atau naik bis ke Kutoarjo, satu jam perjalanan, langsung naik Prameks ke Solo. Jadi gue sudah siap lahir batin naik kereta. Kenapa jadinya naik bis? Kombinasi bujuk rayu teman-teman lama yang sangat gue hormati dan sayangi, plus keawaman terhadap geografi Jawa Tengah, membuat gue mau-mau aja ikut mereka bermobil ke arah Semarang untuk diturunkan di Bawen (diturunkan kesannya ga enak banget ya?). Bawen itu sepertiga perjalanan Semarang-Solo. Maksudnya sepertiga ke Semarang, dua per tiga ke Solo. Heh, meneketehe?

Jadilah berangkat dari Bawen sudah gelap, tak bisa baca, tas terlalu besar untuk bis ukuran sedang, dan mas-mas di kursi seberang memutar Ayu Ting-ting dengan volume bersemangat. Hore. Lalu gue turun di pinggir jalan (iyalah, masa di tengah). Maksudnya gak di terminal, biar lebih gampang cari taksi. Dan Maliq yang lupa dimasukkan lagi, tertinggal.

Hiks.

Kemarin sore gue ingat Maliq. Dan mulai terjangkit pikiran-pikiran tak sehat. Kalau saja gak kemaleman... kalau saja gak naik bis... kalau saja gak mesti turun di pinggir jalan... kalau saja gak... Pikiran jahat bercampur perasaan bersalah karena kambing hitamnya, seperti gue bilang tadi, adalah orang-orang yang sangat gue hormati dan sayangi. Toh kepala gue tak henti merancang status mukabuku untuk curcol cari perhatian.

Sampailah gue ke rumah. Sekitar jam setengah delapan malam. Dan saat itu, di depan pintu, gue baru nyadar bahwa kunci segala kunci gue tertinggal di kantor. Rentengan kunci yang juga mengandung kunci lemari di mana gue menyimpan Maximilienne. Meh, mau buka facebook dari mana?

Jadi bukan karena bis. Bukan karena kemaleman. Bukan karena mas-mas Ayu Tingting. Ceroboh mah ceroboh aja. Dan kejadian-kejadian kayak gini (Edo secara ceroboh sering mengelompokkannya sebagai 'Rani banget'), membuat gue yakin Tuhan sayang sama gue. Karena seringnya Dia menyintreuk gue dengan lembut tapi kena, ketika gue sudah, atau hampir melewati batas. Ngomong-ngomong nyintreuk bahasa Indonesianya apa ya?

Begitulah. Akhirnya gue ikhlaskan Maliq. Semoga dapet pemilik baru yang baik hati ya :)