11 Mei 2017

743

Beberapa minggu yang lalu, saya berniat ke CFD. Tapi karena belok dulu ke acaranya Pustakalana di ITB, saya baru mencapai Dago sekitar pukul 09:50. Saat itu, CFD ternyata sudah bubar dan kendaraan kembali masuk ke Jalan Dago. Dan bukan cuma masuk, tapi juga dalam jumlah banyak dan melaju kencang, seolah-olah mengejar ketertinggalan kuota jalan yang ditutup selama (kurang dari) empat jam saja. Saya jadi bertanya-tanya, benarkah warga Bandung memang menginginkan kota untuk pejalan kaki?

Saya gak menemukan padanan kata yang tepat untuk walkable. Ramah pejalan kaki, mungkin, tapi apa sih ramah itu? Definisi Jeff Speck untuk walkable city lebih dari sekedar kota yang membuat orang bisa berjalan kaki, tapi juga mau dan menikmati berjalan kaki. Oleh karenanya Speck mengajukan empat syarat: bertujuan, aman, nyaman, dan menarik.
Saya gak akan membahas Walkable City-nya Speck sebagai ulasan buku, tapi lebih berusaha mengaitkannya dengan kondisi Kota Bandung. Untuk bahasan yang cukup ringkas dan jelas, artikel ini cukup mewakili.

Saya akan mulai dengan syarat nomer dua, aman. Apakah Bandung sudah aman untuk pejalan kaki? Saya akan jawab: belum. Banyak jalan di Bandung yang tidak memiliki trotoar, termasuk di antaranya jalan yang berfungsi sebagai jalan kolektor dan jalan lokal yang lalu-lintasnya padat. Seandainya ada trotoar, banyak yang sudah rusak. Beberapa tahun terakhir ini, cukup banyak perbaikan trotoar yang dilakukan di Kota Bandung. Hanya saja, perbaikan trotoar ini sebagian besar berpusat di jalan-jalan utama.


Kondisi trotoar bukan satu-satunya ancaman bagi pejalan kaki di Kota Bandung. Dari segi infrastruktur, hal lain yang kurang diperhatikan adalah tidak meratanya fasilitas menyeberang yang layak. Ini juga ditambah dengan kurangnya kesadaran pengguna jalan yang lain akan hak-hak pejalan kaki. Motor yang naik ke trotoar maupun mobil/motor yang tidak mau berhenti ketika ada pejalan kaki yang menyebrang di zebra cross bukan merupakan pemandangan yang langka.

Speck percaya bahwa jalan yang paling aman adalah jalan yang menimbulkan perasaan paling tidak aman bagi pengendara mobil. Pendapat ini sebagian adalah antitesis dari rekayasa lalu lintas di berbagai kota di Amerika: buat jalan yang lebar, hilangkan hambatan untuk pengemudi, dan buat batasan yang tegas antara area pengemudi dan pejalan kaki, maka pejalan kaki akan terlindungi. Nyatanya, menurut Speck, di jalan-jalan seperti ini (umumnya di daerah suburban) perasaan aman membuat mobil melaju dengan kecepatan tinggi sehingga lebih membahayakan bagi pejalan kaki ketimbang jalan-jalan yang sempit yang membuat pengemudi terpaksa memperlambat laju kendaraannya. Paling ekstrim, Speck memuji inisiatif jalan bugil, jalan tanpa rambu-rambu lalu lintas. Cara ini diklaim mengurangi kemacetan dan jumlah kecelakaan, serta membuat pengguna jalan lebih menghormati satu sama lain.

#iyain aja deh.

Menurut saya, ideal yang diajukan Speck mensyaratkan semua pengguna jalan mengetahui hak dan kewajibannya, termasuk etika perilaku dan hirarki prioritas di jalan. Ditambah penegakan hukum yang konsisten. Tanpa judul jalan bugil, banyak jalan di Indonesia yang tidak dilengkapi rambu-rambu yang memadai. Hasilnya kacau-balau. Yang membuat sedikit teratur biasanya solusi khas Indonesia juga: polisi cepek. Dan dalam situasi seperti ini, keselamatan pejalan kaki bahkan tidak masuk pembahasan.



Salah satu konsep utama Speck adalah useful walk—jalan yang bermanfaat. Dan yang membuat jalan menjadi bermanfaat adalah ketika kita menuju suatu tempat, bukan berjalan sekedar berjalan tanpa tujuan. Nampak jelas tapi mungkin contohnya seperti ini: Bandingkan jika kita harus berjalan sejauh 200 m di tengah hari, mana yang lebih mudah, menuju kantin untuk makan siang atau sekedar berjalan untuk menjaga kebugaran? Selanjutnya, Speck juga merekomendasikan untuk menciptakan pengalaman berjalan yang menarik, dengan membuat jalan yang ramah dan unik. Dan, percaya atau tidak, saya berkeyakinan Bandung cukup punya modal untuk memenuhi kedua syarat ini.

Di Amerika, menurut Speck, sering terdapat pembagian yang tegas bahwa suburban hanya untuk pemukiman dan pusat kota untuk kegiatan komersial. Implikasinya, untuk bersantap di restoran atau sekedar berbelanja kebutuhan sehari-hari, penghuni suburban harus mengendarai mobilnya ke pusat kota. Sebaliknya di Bandung, jarak antar minimarket saja bisa kurang dari 100 m. Kantin bahkan restoran bisa muncul diapit rumah tinggal di kiri-kanannya. Ini mungkin buah ketidaktegasan perihal tata ruang, yang jelas fungsi kawasan yang beragam seharusnya mendorong orang untuk berjalan kaki.

Lalu, kenapa ini tidak terjadi? Menurut saya ada beberapa alasan. Di satu pihak, Bandung kekurangan trotoar. Di lain pihak, pendekatan yang terlalu berpusat pada infrastruktur (dan, diakui saja, kosmetika) juga mengabaikan satu hal penting. Indonesia, Bandung, terletak di daerah tropis. Hal ini sangat jelas sehingga kerap diabaikan. Untuk membuat orang berjalan, khususnya di siang hari, diperlukan peneduh. Lebih mudah membuat orang berjalan di jalan yang teduh tanpa trotoar, ketimbang jalan bertrotoar tanpa peneduh. Speck juga merekomendasikan pohon sebagai salah satu penunjang kenyamanan.

Pendekatan infrastruktur juga mencuatkan istilah panca trotoar, fasilitas-fasilitas yang harus ada di trotoar untuk menciptakan ruang interaksi yang ramah pejalan kaki. Sayangnya, penempatan panca trotoar kerap mengganggu fungsi utama trotoar itu sendiri.

Jarak tetap menjadi batasan untuk kesediaan orang berjalan kaki. Oleh karenanya, transportasi umum yang dapat diandalkan merupakan syarat kota yang ramah pejalan kaki. Kualitas transportasi umum di Kota Bandung saat ini masih jauh dari memuaskan, satu pekerjaan rumah lagi untuk mewujudkan kota yang ramah pejalan kaki.

Yang terakhir adalah pemberdayaan sektor informal. Di awal-awal tahun 2000-an, Dago malam minggu merupakan salah satu hiburan bagi saya karena banyak kegiatan-kegiatan kecil yang seru berlangsung di sana. Jauh sebelumnya, Bandung mengenal pengamen kecapi legendaris Braga Stones. Di Braga dan daerah sekitar Asia-Afrika dan alun-alun sekarang, yang sering dijumpai adalah "pengamen" kostum, mulai karakter kartun hingga beragam jenis hantu, yang menerima imbalan sekedarnya untuk foto bersama.

Foto diambil dari Kompas

PKL adalah salah satu sektor informal yang paling dianggap sebagai pengganggu ketertiban trotoar. Memang benar, PKL kerap menghalangi trotoar. Dan sayangnya juga, jumlah mereka terlalu banyak. Namun sesungguhnya, jika ditata, PKL dapat menjadi faktor yang membuat perjalanan di trotoar menjadi menarik sekaligus bermanfaat. Kota-kota besar seperti New York pun masih "memelihara" "PKL" di trotoarnya (New York merupakan salah satu contoh kota walkable versi Speck).

Lapak PKL di Cihampelas, 21 Februari 2017
Tangkapan layar GoogleMaps, 11 Mei 2017 15:39

Penataan ini tentunya selain tidak bisa setengah-setengah, juga harus partisipatif. Teras Cihampelas bisa menjadi pelajaran senilai 48 milyar. Memindahkan PKL ternyata tidak serta-merta mengatasi kesemrawutan Cihampelas. Saat ini sudah banyak PKL kembali berjualan di Cihampelas, karena memang di sana pasar mereka. Kemacetan pun tidak banyak berkurang. Pejalan kaki yang hanya ingin melintas pun tidak terbantu dengan adanya Teras Cihampelas.



Tahun 2013 saya berkunjung ke Ghent, Belgia. Tidak ada pengalaman luar biasa yang saya dapatkan di kota itu. Hanya saja, bertahun-tahun kemudian, saya baru tahu kalau pusat kota Ghent adalah daerah bebas kendaraan bermotor. Car free day tujuh hari dalam seminggu! Berjalan kaki ternyata begitu alamiah, begitu tanpa-usaha, sehingga saya bahkan tidak menyadarinya. Meskipun demikian, untuk bisa sampai di posisi Ghent, sungguh panjang jalan yang masih harus ditempuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar