Dalam rangka hari film nasional dan karena gue baru beli rok baru yang panjangnya tepat sedengkul, gue pingin nulis tentang beberapa hal yang kerap dikampanyekan sama pegiat lingkungan. Sebagian gue setuju, sebagian netral, sebagian gue gak setuju. Dan banyak yang gue gak tau tapi tetep sotoy.
Sebagai anak teknik lingkungan sesat, pastinya pendapat gue ini banyak ngaconya juga. Apalagi kopi gue malam ini agak kurang nendang kebanyakan susu. Jadi silakan diprotes dan disanggah dan diperbaiki kalo gak setuju.
Baiklah...
Mengurangi pemakaian kantong plastik. Menurut gue, masalah terbesar kantong plastik bukan karena itu sampah. Sampah masalah juga sih, apalagi di Indonesia yang pengelolaan samapahnya masih amburadul. Para pegiat lingkungan juga senang memberi ilustrasi ikan-ikan yang terperangkap sampah plastik yang dibuang sembarangan di laut. Masalah kantong plastik adalah penggunaan sumber daya tak terbarukan dalam produksinya: minyak bumi. Sebagian besar plastik menggunakan minyak bumi sebagai bahan baku. Pun proses produksinya mengonsumsi banyak sekali energi. Maka dari itu menurut gue plastik yang mudah terurai juga bukan solusi. Banyak plastik jenis ini juga diproduksi dari minyak bumi, hanya disisipi zat aditif yang memfasilitasi penguraian lebih cepat. Bioplastik yang terbuat dari bahan baku hayati menyimpan masalah yang sama dengan bahan bakar hayati.
Ngomong-ngomong soal bahan bakar hayati (biofuel)... Ini daftar masalahnya panjang, dan sangat beragam tergantung bahan baku dan lokasinya juga. Yang mencuat adalah isu bahan bakar lawan pangan. Juga energi netto (perbandingan energi yang dihasilkan terhadap energi yang digunakan untuk produksi) yang masih relatif kecil, bahkan negatif. Kalo menurut gue status saat ini adalah: belum. Baik secara teknologi maupun ekonomi. Apalagi harus bersaing sama BBM (yang bersubsidi pula). Tapi akan. Toh lama-lama kita akan kehabisan pilihan.
Sepeda. Ini agak spesifik karena tiap kota kondisinya beda, jadi gue akan bicara Bandung aja. Menurut gue secara umum naik sepeda di jalan-jalan utama kota Bandung itu, sebaik-baiknya gak berdampak positif sama lingkungan, dan seburuk-buruknya malah menambah masalah. Sebabnya adalah Bandung gak punya jalur sepeda. Baiklah ada semacam sesuatu berwarna biru di jalan-jalan tertentu yang nampaknya dimaksudkan sebagai jalur sepeda, tapi bukan hanya gak memadai (dan diabaikan), ada yang dengan super g*bl*knya mengambil *jreng-jreng* trotoar sodara-sodara. Saya doakan penggagasnya dikasih hidayah atau pensiun dini, terserah yang mana yang duluan. Memang jalan-jalan Bandung kecil-kecil, rata-rata satu arah cuma dua jalur, bahkan satu. Dalam kondisi kaya gini, sepeda motor aja udah bikin ruwet. Ketambahan sepeda (yang kecepatannya di bawah mobil dan motor) cuma bikin tambah ruwet. Tambah macet. Tambah polusi.
Makanya, menurut gue car free day Bandung juga gak ada dampaknya apa-apa buat lingkungan. Karena kalopun macet, kemacetannya cuma dipindahin ke tempat lain (dan gue pernah ngerasain namanya kejebak macet total gara-gara car free day). Kata gue mah ini cuma bentuk ketidakmampuan pemerintah nyediain fasilitas umum yang memadai buat senam pagi, naik sepeda, dan jualan donat.
Earth hour (kata wikipedia, terjemahannya Jam Bumi). Jadi gini... Sepengetahuan gue, yang namanya listrik itu hanya bisa disimpan dalam jumlah dan waktu yang sangat terbatas. Artinya, praktis listrik yang baru saja diproduksi harus segera dipakai. Jadi kalo selama satu jam, ribuan kilowatt listrik ga dipake tapi pembangkitnya tetap beroperasi, ya percuma aja. Kenapa gak pembangkitnya juga dimatiin? Karena matiin dan nyalain pembangkit itu gak semudah mati-nyalain lampu di rumah. Butuh waktu dan bahkan energi ekstra (Ref: 1, 2). Katanya WWF sih itu cuma untuk membangkitkan kepedulian. Soal ini, apakah kita semua tidak belajar dari Kony 2012? Kepedulian tanpa informasi yang benar itu, sebagus-bagusnya tidak berdampak, seburuk-buruknya malah kontraproduktif.
Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ada satu lagi sih. Sebenarnya pemakaian listrik kita gak besar-besar amat lho. Beneran. Coba aja periksa. Rumah gue listriknya 1300 VA (itu kira-kira 1300 W kali faktor arus bolak-balik). Tau nggak, ketel air gue di Belanda listriknya 1000 W. 1000 watt! Dipake di Indonesia langsung njepret satu rumah. Dan itu baru satu peralatan. Ini mah cuma perbandingan aja, bukan berarti yang di sono yang bener. Justru gaya hidup mereka itu kan emang warisan waktu energi (minyak bumi) masih melimpah dan relatif murah. Makanya kampanye hemat energi jadi relevan. Kalo buat Indonesia, menurut gue kalo kita bicaranya listrik, sebenarnya enggak. Kalo BBM yang setiap hari berjuta-juta liter dibuang percuma gara-gara macet, iya relevan. Kalo listrik, sebagian besar peralatan rumah tangga di Indonesia mah udah hemat energi da emang udah gak mungkin lebih gede lagi. Eh gue ngomong gini bukan berarti boleh boros listrik juga sih. Justru masalahnya rasio elektrifikasi kita masih rendah sehingga masih byar-pet. Jawa-Madura-Bali aja yang paling bagus cuma 72%, artinya masih kekurangan pasokan listrik 28% dari kebutuhan. Apalagi Indonesia Timur, lebih dari 50% penduduk gak dapet listrik (PLN). Halooo... ini taun 2012!
Masih ada beberapa sih, tapi cape nulisnya. Sebenarnya ini mulai ditulis tanggal 30 Maret, tapi baru selesai tanggal 1 April. Lama banget kan? Jadi rata-rata cuma 0,266 kata per menit (sekarang 0,267). Kapan-kapan dilanjutin deh kalo gak males.
Sebagai anak teknik lingkungan sesat, pastinya pendapat gue ini banyak ngaconya juga. Apalagi kopi gue malam ini agak kurang nendang kebanyakan susu. Jadi silakan diprotes dan disanggah dan diperbaiki kalo gak setuju.
Baiklah...
Mengurangi pemakaian kantong plastik. Menurut gue, masalah terbesar kantong plastik bukan karena itu sampah. Sampah masalah juga sih, apalagi di Indonesia yang pengelolaan samapahnya masih amburadul. Para pegiat lingkungan juga senang memberi ilustrasi ikan-ikan yang terperangkap sampah plastik yang dibuang sembarangan di laut. Masalah kantong plastik adalah penggunaan sumber daya tak terbarukan dalam produksinya: minyak bumi. Sebagian besar plastik menggunakan minyak bumi sebagai bahan baku. Pun proses produksinya mengonsumsi banyak sekali energi. Maka dari itu menurut gue plastik yang mudah terurai juga bukan solusi. Banyak plastik jenis ini juga diproduksi dari minyak bumi, hanya disisipi zat aditif yang memfasilitasi penguraian lebih cepat. Bioplastik yang terbuat dari bahan baku hayati menyimpan masalah yang sama dengan bahan bakar hayati.
Ngomong-ngomong soal bahan bakar hayati (biofuel)... Ini daftar masalahnya panjang, dan sangat beragam tergantung bahan baku dan lokasinya juga. Yang mencuat adalah isu bahan bakar lawan pangan. Juga energi netto (perbandingan energi yang dihasilkan terhadap energi yang digunakan untuk produksi) yang masih relatif kecil, bahkan negatif. Kalo menurut gue status saat ini adalah: belum. Baik secara teknologi maupun ekonomi. Apalagi harus bersaing sama BBM (yang bersubsidi pula). Tapi akan. Toh lama-lama kita akan kehabisan pilihan.
Sepeda. Ini agak spesifik karena tiap kota kondisinya beda, jadi gue akan bicara Bandung aja. Menurut gue secara umum naik sepeda di jalan-jalan utama kota Bandung itu, sebaik-baiknya gak berdampak positif sama lingkungan, dan seburuk-buruknya malah menambah masalah. Sebabnya adalah Bandung gak punya jalur sepeda. Baiklah ada semacam sesuatu berwarna biru di jalan-jalan tertentu yang nampaknya dimaksudkan sebagai jalur sepeda, tapi bukan hanya gak memadai (dan diabaikan), ada yang dengan super g*bl*knya mengambil *jreng-jreng* trotoar sodara-sodara. Saya doakan penggagasnya dikasih hidayah atau pensiun dini, terserah yang mana yang duluan. Memang jalan-jalan Bandung kecil-kecil, rata-rata satu arah cuma dua jalur, bahkan satu. Dalam kondisi kaya gini, sepeda motor aja udah bikin ruwet. Ketambahan sepeda (yang kecepatannya di bawah mobil dan motor) cuma bikin tambah ruwet. Tambah macet. Tambah polusi.
Makanya, menurut gue car free day Bandung juga gak ada dampaknya apa-apa buat lingkungan. Karena kalopun macet, kemacetannya cuma dipindahin ke tempat lain (dan gue pernah ngerasain namanya kejebak macet total gara-gara car free day). Kata gue mah ini cuma bentuk ketidakmampuan pemerintah nyediain fasilitas umum yang memadai buat senam pagi, naik sepeda, dan jualan donat.
Earth hour (kata wikipedia, terjemahannya Jam Bumi). Jadi gini... Sepengetahuan gue, yang namanya listrik itu hanya bisa disimpan dalam jumlah dan waktu yang sangat terbatas. Artinya, praktis listrik yang baru saja diproduksi harus segera dipakai. Jadi kalo selama satu jam, ribuan kilowatt listrik ga dipake tapi pembangkitnya tetap beroperasi, ya percuma aja. Kenapa gak pembangkitnya juga dimatiin? Karena matiin dan nyalain pembangkit itu gak semudah mati-nyalain lampu di rumah. Butuh waktu dan bahkan energi ekstra (Ref: 1, 2). Katanya WWF sih itu cuma untuk membangkitkan kepedulian. Soal ini, apakah kita semua tidak belajar dari Kony 2012? Kepedulian tanpa informasi yang benar itu, sebagus-bagusnya tidak berdampak, seburuk-buruknya malah kontraproduktif.
Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ada satu lagi sih. Sebenarnya pemakaian listrik kita gak besar-besar amat lho. Beneran. Coba aja periksa. Rumah gue listriknya 1300 VA (itu kira-kira 1300 W kali faktor arus bolak-balik). Tau nggak, ketel air gue di Belanda listriknya 1000 W. 1000 watt! Dipake di Indonesia langsung njepret satu rumah. Dan itu baru satu peralatan. Ini mah cuma perbandingan aja, bukan berarti yang di sono yang bener. Justru gaya hidup mereka itu kan emang warisan waktu energi (minyak bumi) masih melimpah dan relatif murah. Makanya kampanye hemat energi jadi relevan. Kalo buat Indonesia, menurut gue kalo kita bicaranya listrik, sebenarnya enggak. Kalo BBM yang setiap hari berjuta-juta liter dibuang percuma gara-gara macet, iya relevan. Kalo listrik, sebagian besar peralatan rumah tangga di Indonesia mah udah hemat energi da emang udah gak mungkin lebih gede lagi. Eh gue ngomong gini bukan berarti boleh boros listrik juga sih. Justru masalahnya rasio elektrifikasi kita masih rendah sehingga masih byar-pet. Jawa-Madura-Bali aja yang paling bagus cuma 72%, artinya masih kekurangan pasokan listrik 28% dari kebutuhan. Apalagi Indonesia Timur, lebih dari 50% penduduk gak dapet listrik (PLN). Halooo... ini taun 2012!
Masih ada beberapa sih, tapi cape nulisnya. Sebenarnya ini mulai ditulis tanggal 30 Maret, tapi baru selesai tanggal 1 April. Lama banget kan? Jadi rata-rata cuma 0,266 kata per menit (sekarang 0,267). Kapan-kapan dilanjutin deh kalo gak males.
Rani, kamu jadi menteri lingkungan hidup aja deh
BalasHapusvira - yg terhibur dan merasa jadi lebih pintar gara2 baca post ini -
tau ga... adikku abg SMA sms: mbak, matiin lampu nanti malam karena earth hour.
BalasHapusGw jg termasuk orang yang menganggap earth hour itu sedikit lucu, tapi ga tau kenapa gw seneng banget. Gw seneng karena itu artinya dia anak yang peduli.
Dari kecil dia suka mungutin sampah di jalan, gimana gak baik coba ni anak.
Suatu saat lah kali aja kepedulian dan kebaikannya bisa tersalurkan dengan lebih baik. amiin. hehe...
hahaha... gue maunya jadi menteri pemuda dan olahraga aja vir #random
BalasHapusIya tuh, gue make teko pemanas listrik di Malaysia langsung ngejepret listrik flat gue.... :p
BalasHapussali, komen lo masuk spam :P
BalasHapusiya saat SMA masi saat2nya culun2 gitu kok. been there, done that (kenapa pulak gue masuk TL coba?). gue cuma agak concern sama awareness hype ini aja. tapi mungkin semua orang harus nemu jalannya sendiri ya dari aware ke informed