03 November 2011

629

Setelah baca lagi, baru nyadar bahwa ulasan Sang Penari gue kemarin permukaan banget. Gara-gara sok enggres, padahal cuma buat satu kalimat (gak berhasil nerjemahin I want it to be ugly ke Bahasa Indonesia euy, 'rasa'-nya ga dapet). Tapi ga pa-pa deh, berharap ada temen gue di Belanda yang baca trus kepingin nonton.

Ada beberapa, ehm, banyak hal yang menggelitik dari film ini. Gue seneng penokohan Rasus di sini. Kemarin pingin bilang sebenarnya (tapi takut terdengar seperti LSC) kalo badannya Rasus masih terlalu sedap untuk seorang anak desa kurang gizi. Tapi seenggaknya ini tertolong sama akting yang keren dan cukup meyakinkan. Di bukunya, Rasus sejak awal sudah terlihat sebagai anak desa yang berbeda dari sebayanya. Di film ini, di awal Rasus terlihat culun sangat, dan baru bermetamorfosis menjadi seorang yang berhasil di luar Dukuh Paruk setelah menjadi tentara.

Fenomena ronggeng pastilah menjadi kunyahan para cerdik-cendekia dengan teori-teori canggih mereka. Bagaimana nilai-nilai ronggeng itu terbentuk dan disepakati. Bagaimana seorang, eh, kasarnya pelacur bisa begitu bermartabat. Adegan ibu-ibu yang berdebat soal suami siapa yang bakal mendapatkan perawannya Srintil itu menurut gue dahsyat. Ga masuk nalar.

Walaupun ronggengnya Srintil itu kan sebenarnya jadi pertanyaan juga. Kalo bukan gara-gara Rasus, Srintil tak bakalan diaku jadi ronggeng. Serindu apapun warga dukuh terhadap ronggeng, toh mereka masih tunduk sama Kertaredja. Ngomong-ngomong gue suka adegan Srintil menari sama Kertaredja. Di situ keliatan narinya kayak kesurupan (atau mungkin gue berharap dia menari kayak kesurupan ya? Ga masalah si sebenarnya).

Kembali ke ronggeng dan nilai, terlihat 'kekuasaan' Srintil bukan hanya di Dukuh Paruk aja tapi bahkan meluas ke daerah sekitar. Berarti, seenggaknya pada saat itu, keronggengan itu menjadi norma yang umum saja di masyarakat. Mengingatkan gue sama penggambaran Romo Mangun akan Desa Juranggede di Burung-burung Manyar (kapan ya novel dahsyat satu ini bakal difilmin). Adegan Pak Sersan yang sedang solat itu, apakah juga dimaksudkan sebagai penanda jarak antara Rasus dan Dukuh Paruk? Agak wagu sebetulnya.

Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan ini hanya muncul sayup-sayup sepanjang gue nonton filmnya. Kayaknya gue emang lagi cenderung menikmati film apa adanya, gak berusaha dalem apa gimana. Saat gue bisa keluar dari bioskop (atau mematikan pemutar DVD) dengan senyum, biar saja hati dan alam bawah sadar gue mencerna film yang baru saja gue tonton dan merekonstruksinya di perpustakaan otak gue perlahan-lahan. Jadi ulasan kemarin itu udah betul sebenarnya. Halah.

1 komentar:

  1. iya Ran.. dangkal itu menyenangkan..
    :P

    Btw.. gua masih nggak ngerti kenapa ronggeng dianggap 'berkuasa'. I can see it as a glorified whore, tapi dengan keyakinan spiritual masyarakatnya pun gw ngak bisa lihat di mana letak kuasanya dia. Apa iya kalo seorang suami berhubungan seks dengan ronggeng, trus bisa menghamili istrinya? (di bukunya diceritain nggak? gua gak baca). Trus apa bukti bhw ronggeng mengatur / mempengaruhi rumah tangga orang lain?

    btw Oka Antara is yummy :P

    BalasHapus