19 Februari 2011

551

Jumat sore. Minggu yang berat, sepertinya kerjaan lab gak selesai-selesai. Jam setengah enam sore itu saya sudah menyerah, bersiap-siap mematikan komputer dan ingin segera cabut ke Heerenstraat untuk menonton Natalie Portman. Tiba-tiba Ischa, yang semingguan itu juga menua di lab, berseru pada saya dan Aliaksei kalau Hosni Mubarak akhirnya mengundurkan diri. Saya urung mematikan komputer, kembali membuka peramban dan mencari berita terbaru. Wakil Presiden Omar Sulaeiman mengumumkan pengunduran diri presiden yang sudah berkuasa selama 30 tahun itu.

Bagaimana mungkin saya tidak merasa deja vu?

Kemiripan antara kejadian hari itu dan Indonesia Mei 1998 tentu saja langsung disambar banyak pengamat dan media. Analisis berhamburan dan saya terpekur sendiri.

Udah tiga belas taun ya?

(Foto karya Jonathan McIntosh, diambil dari sini)

Gambar di atas, entah kenapa, membuat saya sedih. Harapan besar itu.

Beberapa waktu yang lalu, saya ikut pengajian dengan pembicara seorang muslim Belanda yang menikah dengan orang Indonesia. Beliau membahas tentang perkembangan pandangan masyarakat Belanda terhadap Islam. Agak lupa-lupa dikit, tapi kalo dibikin nuktah-nuktahnya kira-kira seperti ini:
  • Para imigran dari Maroko dan Turki, sebagian, mulai menjadi masalah ketika menuntut perlakuan istimewa dari pemerintah. Sebagian tidak bekerja dan hidup dari jaminan sosial. Sebagian terlibat kriminalitas.

  • Masalah ini menjadi api dalam sekam karena warga Belanda selalu menganggap diri mereka toleran, dan ragu-ragu menindaklanjuti masalah (yang benar-benar masalah) karena khawatir akan cap rasis dan diskriminatif.

  • Pembunuhan Theo van Gogh di taun 2004 akhirnya menjadi pengobar api. Dan salah satu penumpang gelapnya adalah Geert Wilders.

  • Partai Kebebasan (PVV) pimpinan Wilders hanya mendapat 5,9% suara (9 kursi parlemen) di taun 2006. Wilders merilis film Fitna yang menyebabkan dia diadili dengan tuduhan diskriminasi dan menyulut kebencian. Selain merasa toleran, masyarakat Belanda juga sangat menghargai kebebasan berpendapat (sekonyol apapun pendapat itu). Suara PVV di taun 2010 melonjak menjadi 15,5% (24 kursi parlemen).

  • Selama beberapa taun, suasana Belanda menjadi sangat gak nyaman untuk masyarakat muslim. (catatan: saya gak terlalu ngerasa karena Wageningen, selain sangat internasional, juga sangat kiri) Dampak pengaruh sayap kanan, antara lain, mulai terasa dengan peraturan imigrasi yang semakin ketat.

  • Dan entah kenapa, menurut Pak Pembicara seperti tiba-tiba saja sejak beberapa bulan yang lalu, suasana berubah. Ketegangan mencair, dan ketidaknyamanan dan ketidakramahan memudar. Saya berspekulasi bahwa masyarakat Belanda kebanyakan kembali pada rasionalitas mereka (bahwa masalah dengan sebagian imigran itu gak ada hubungannya dengan agama), dan mereka kemarin cuma khilaf saja memilih PVV. Selain tentu saja kuasa Allah membolak-balikkan hati.
Yang saya garis bawahi dari ucapan Pak Pembicara adalah, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan Belanda ketika suasana sedang genting-gentingnya. Yang dipikirkannya adalah keselamatan keluarganya, juga karirnya waktu itu sebagai pegawai negeri yang terhambat. Cuma itu. Beliau gak memikirkan tentang kejayaan Islam atau visi-visi besar lainnya. Menurut beliau, Islam baik-baik saja. Yang beliau pedulikan saat itu, hingga saat ini, cuma kelangsungan hidup keluarganya. Dan saya amini itu.

Karena saya juga, saat ini, cuma memikirkan diri saya sendiri.

Ini ngelanturnya kejauhan ya, tapi gini. Saya juga yakin Islam baik-baik saja, tapi keyakinan saya untuk Indonesia tambah lama tambah terkikis.

Saya adalah orang yang pernah yakin dengan sepenuh hati bahwa semua kekacauan saat ini adalah salah orde baru, atau minimal lebih baik dari jaman orde baru. Tapi hari-hari ini, rasanya semakin sulit untuk optimis. Yang seharusnya tidak jadi masalah dipermasalahkan. Masalah-masalah besar diabaikan. Krisis kepemimpinan. Penumpang gelap tak usah dibahas lagi.

Padahal saya adalah minoritas rakyat Indonesia yang secara sosial masuk kelas menengah, berpenghasilan cukupan, dan menganut agama mayoritas. Padahal saya juga sudah gak percaya dengan visi-visi besar #panggilbungwildy. Saya cuma mikirin diri saya sendiri. Saya cuma pingin tidak usah menjawab pertanyaan "Apa pendapatmu tentang jihad?" dan sejenisnya. Saya cuma pingin, ketika balik kerja di Indonesia nanti, saya gak usah korupsi.

...

3 komentar:

  1. Oh yeah, sama pingin kawin biar bisa bilang "saya cuma mikirin keluarga saya" dengan sah dan meyakinkan :D

    BalasHapus
  2. Eh, apaan nih, visi-visi besar? Gw kok lupa kt pernah ngobrolin ini ya? :p

    BalasHapus
  3. hehe gw juga lupa kita ngebahas apaan :P

    BalasHapus