10 Desember 2010

532

Sembilan malam. Lamat dentang lonceng gereja dari kejauhan. Gue suka, selalu suka. Asal gak sering-sering. Asal gak deket-deket, mungkin. Di Brugge, lonceng gerejanya aneh. Gak lima belas atau tiga puluh menit sekali. Tapi di sini teratur seperti detak jam. Atau mungkin detak jam yang teratur seperti lonceng gereja.

Kamar ini harganya 79 euro semalam di hari kerja. Akhir pekan, 69 euro. Bukan gue yang bayar, tentu saja, walaupun dibayarnya kapan-kapan. Lima hari di sini lebih mahal dari kamar gue sebulan. Penting? Ngga juga. Keingetan isu. Tentang bumi dan langit. Mungkin di sini langit. Ang pernah bilang begitu. Dan di langit sangat mudah melupakan bumi. Hanya untuk makan malam panas, dan halal. Ikan lebih mahal dari ayam. Langit bukan cuma di sini, juga di Jakarta, juga di Bandung. Tapi di sini langit bahkan ada di toko yang buka sampai jam delapan malam. Dan lupa menjadi begitu mudah.

Mudah-mudahan gue tidak. Angga bilang gue tidak seperti itu. Mudah-mudahan dia benar. Dan gue kangen Angga. Saat ini gue benci perbedaan waktu.

Lalu, dia? Gue mulai berpikir. Terpikir. Hanya itu. Saat ini. Tidak berharap, tidak menyangkal. Kontradiksi. Dan kesimpulan setelah lelah: lihat saja nanti.

#meracauhabismalamini

2 komentar: