09 Maret 2009

419

Dongeng, Untuk Siapa?

Untuk pembaca dewasa, mungkin adalah sesuatu yang taken for granted, bagian dari masa lalu yang memang sudah demikian adanya. Romantis, cenderung ajeg, mungkin sedikit tercampur-baur antara dongeng yang satu dengan yang lain. Sifat dongeng yang universal telah lama diketahui. Perhatikan betapa dongeng Bawang Merah-Bawang Putih memiliki kemiripan dengan Cinderella, Sangkuriang sejatinya mirip Oedipus, dan keluguan/kecerdasan Si Kabayan identik dengan Nasrudin Hoja. Keajegan dan keuniversalan ini membuat dongeng sejak dulu menjadi media penyampai nilai-nilai moral.

Pembaca dewasa mungkin menemukan dongeng dalam bentuk sejatinya, cerita dari ibu atau nenek sebagai pengantar tidur atau penenang kala rewel. Pengalaman ini, tentu, menambah nilai romantis dari dongeng. Sejak Disney mengadaptasi Snow White and the Seven Dwarfs menjadi film kartun sejak tahun 1937, tafsir dongeng menjadi relatif seragam. Tapi milenium baru menawarkan dongeng dalam bentuk yang lebih nyata: film dengan teknik animasi yang luar biasa halus, game, dan merchandise. Dan pilihan pun semakin beragam. Bahkan Disney pun kehabisan stok dongeng klasik, setelah mengambil kisah sejarah dari Amerika sampai Cina, mengarang fabel, hingga memunculkan kisah yang sama sekali baru. Anak-anak saat ini mungkin menganggap tokoh ibu peri sangat basi dibandingkan Profesor Dumbledore dalam serial Harry Potter. Perlukah dongeng dipertahankan?

Sebagian kalangan menganggap perlu. Setidaknya dongeng, khususnya cerita rakyat ”asli” Indonesia, menawarkan keajegan dan nilai-nilai universal yang mungkin terlupakan oleh Spongebob Squarepants sekaligus mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang berasaskan moral Pancasila (fiuh...) Pada tahun 1992, misalnya, Penerbit Grasindo menerbitkan Seri Pendidikan Budaya yang telah disahkan penggunaannya di sekolah dengan keputusan Dirjen Dikdasmen Depdikbud No:430/C/Kep/R/1993. Wah...

Penerbitan buku-buku ini merupakan semacam kecelakaan dalam penafsiran ”bagaimana menyampaikan nilai-nilai luhur bangsa”. Buku-buku ini sebenarnya menarik. Cerita Rakyat dari Jawa Barat, misalnya, ditulis oleh sastrawan-budayawan Saini K.M. sedangkan Cerita Rakyat dari Bali ditulis oleh antropolog James Danandjaja. Penuturan mereka runut dan hidup, sayang terkesan terburu-buru karena bukunya seolah dibuat setipis mungkin. Hanya sedikit napas untuk drama. Kisah Lutung Kasarung yang cukup panjang disajikan hanya dalam 20 halaman termasuk Pembicaraan. Pembicaraan?

Keharusan menyampaikan nilai-nilai luhur bangsa membuat dari sebuah dongeng harus dapat disimpulkan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam Cerita Rakyat dari Jawa Barat terdapat subbab Pembicaraan yang merupakan panduan untuk diskusi. Dalam Cerita Rakyat dari Bali, kesimpulannya bahkan sudah ditulis di akhir cerita!

Tampilan buku-buku ini juga masih kurang menarik. Sebagian besar berisi tulisan yang terkesan dijejalkan. Kesan terburu-buru mungkin didapat dari paragraf-paragraf panjang, bahkan dialog-dialog di tengah paragraf. Ilustrasi hanya sedikit, berkesan seadanya. Dan percayalah, pencantuman keputusan Dirjen Dikdasmen Depdikbud yang mirip peringatan di bungkus rokok itu bisa membuat gentar calon pembaca.

Penerbit Gramedia—induk perusahaan Grasindo—juga pernah menerbitkan Seri Dongeng Klasik Indonesia. Pada seri ini Lutung Kasarung tampil dalam 61 halaman bergambar dan berwarna, dengan huruf yang mudah dibaca. Ilustrasinya cukup cantik, dengan karakter yang cukup meng-Indonesia (mengingat banyak buku yang ilustrasinya mirip manga). Tidak ada kesimpulan. Bagaimana dengan pelajaran moral dan nilai luhur bangsa? Entahlah.

Apakah buku dongeng anak harus seperti Seri Dongeng Klasik Indonesia? Rasanya ya. Bagaimanapun dunia anak adalah dunia penuh warna. Berdoa saja ada pelajaran moral dan nilai luhur bangsa yang terserap, tapi jika tidak, setidaknya anak-anak akan senang membacanya.

(maap lagi narsis mengagumi tulisan sendiri. aslinya terbikin taun 2006 untuk pustakalana dengan sedikit suntingan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar