15 November 2008

389

Ada tiga alasan kenapa gue bersiap-siap kecewa ketika membaca The Afghan-nya Frederick Forsyth. Pertama, hampir semua ulasan di amazon dan goodreads bernada negatif. Ulasan yang positif biasanya datang dari pembaca yang baru pertama kali membaca Forsyth. Ya iyalah, buat yang baru baca, sejelek-jeleknya Forsyth tetap mantap. Tapi kalo dah baca Forsyth yang laen, keknya muke lu jauh.

Kedua, agak-agak nyambung yang pertama, karena gue membeli buku ini sebagai buku bekas, tapi penampakannya masi bagus. Maksud gue, lo gak akan ngejual Forsyth men, kecuali lo bener-bener kecewa (hihi, teori asal).

Ketiga, karena gue menyelesaikan novel ini dalam waktu kurang dari dua minggu. Hehe, ini sebenarnya alasan sesudah baca novelnya ya. Buat gue, kecepatan membaca tidak selalu berkorelasi positif dengan bagus-tidaknya sebuah novel. Untuk Forsyth, rata-rata gue butuh sebulan. Sebagus itu, karena Forsyth adalah bersabar di setengah novel pertama untuk menikmati setengah novel sisanya. Dua minggu artinya ceritanya sudah masuk jalur cepat dari awal, dan/atau gue mengabaikan banyak detail. Maka dua minggu=jelek.

Dan setelah membaca, yah, gimana ya... Forsyth tetap Forsyth. Artinya, gak akan sejelek itu. Tapi tetap, hmm..., yah, gitu deh. Pahlawan kita ternyata dipinjam dari The Fist of God, yeah, ok deh. Tapi yang membuat gue kecewa, tak cukup Castle Forbes dari Icon dipake lagi, bahkan beberapa dialog disalin-tempel langsung. Huhuu... Om Freddie, sudah sebegitu dikejar-kejar penerbitnyakah dirimu? :((

Akhir cerita, menurut gue untuk novel-novel berjenis ini sebenarnya gak selalu gak ketebak. Secara umum pasti jagoannya menang, cuma gimana-nya yang mungkin masi mengejutkan. Buat gue, yang gak ketebak adalah pelintirannya. Forsyth jagoan dalam hal ini, dan gue adalah pembaca yang malas berpikir. Tapi dasar sial, sudah mah akhirnya ketebak oleh gue yang malas berpikir ini, gak ada pelintirannya pula.

Tapi kalo dipikir-pikir, mungkin juga subyektivitas gue yang membuat novel ini terasa... umm... mengganggu. Gue tidak banyak tau tentang Al Qaeda ataupun wahabisme, tapi gue tetap merasa ada yang salah. Hehe, jangan-jangan selama ini Rusia-nya Forsyth juga tidak sama dengan Rusia sesungguhnya. Dan novel ini akhirnya meletakkan Indonesia dalam peta spionase dunia dong. Sebelumnya cuma disebut-sebut dikit Jakarta sebagai tempat perekrutan agen KGB atau Borneo sebagai lokasi perusahaan kayu Inggris, tapi sekarang beneran ada tokoh dari Indonesia (walopun nama Lampong agak unlikely).

Dan, ya, gue membaca novel ini ketika tiga pengebom Bali dieksekusi. Gue bertanya-tanya sendiri, apakah 1) gue terlalu banyak lurking di Indonesia Matters; dan/atau 2) novel ini ternyata gak sejelek yang gue kira. Karena gue sama sekali ga bisa nerima alasan orang-orang yang bersimpati menyebut mereka syuhada. Come on!

*kehabisan kata-kata, lagi, setelah berkali-kali selama seminggu ini*

PS: ternyata ulasan novel ini gak semuanya jelek si, tapi saya tetap kuciwah

2 komentar:

  1. Wah . . . .
    Sepertinya BUKUnya bis abikin kecewa banyak orang tuh ,
    jadi penasaran ma tuh buku,
    btw . . . terimaksih pencerahannya, tulisannya bikin nagntuk saya ilang di edisi blokwoking kali ini,
    salamkenal

    BalasHapus
  2. hehe, bikin kecewa kok malah bikin penasaran mbak?
    salam kenal jg

    BalasHapus