03 Januari 2006

Akhir pekan kemarin, ketika orang-orang sibuk merayakan taun baru, saya malah berdiskusi serius dengan beberapa teman lama. Kesibukan membuat kita jarang ketemu, dan ada beberapa permasalahan aktuil yang perlu dibahas, di antaranya:

1. Mistis-Religius Goes To Hollywood
Inget Scream? Gak? I Know What You Did Last Summer? Gak inget juga? Ah, yang ini pasti inget, I Still Know What You Did Last Summer! Yak, 'tul! Yang itu! Tren film horor-remaja Hoolywood emang so last century alias jadul banget sementara Jelangkung kita baru keluar taun 2001. Telat beberapa taun. Sama juga halnya dengan reality show dan idol-idolan.

Tapi dunia sinema kita gak selamanya jadi pengekor kok. Akhir-akhir ini di tivi ada satu genre yang... kayanya belum ada nama resminya jadi sebut ajalah mistis-religius*. Ini genre Indonesia banget, dan sangat eksotis sehingga tidak menutup kemungkinan diekspor ke negara lain. Bahkan Hollywood, kenapa enggak? Secara saat ini sayap kanan lagi berkuasa geto lho... Kan Si Oom Yang Satu Itu terkenal sangat religius. Jadi rasanya ada peluang untuk membuat film-film ini di Amerika, tentunya dengan penyesuaian di sana-sini. Kapan lagi kita ngekspor film ke Amerika?

2. Menghadapi Sihir dan Kurafat
Melihat perkembangan akhir-akhir ini di dunia sihir, rasanya memang keliatan sihir itu sangat berpotensi jadi jahat. Apa lagi dengan kebangkitan Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebutkan. Lebih mudah dan aman memang menjauhinya sama sekali. Tapi namanya perjuangan, seperti biasa ada yang di luar sistem dan di dalam sistem. Jangan lupakan teman-teman yang berjuang di dalam sistem ini, bersama-sama kita berdoa untuk mereka.

3. Left Chicklit
Temen-temen gue membaca chicklit dengan dua alasan. Yang pertama karena ceritanya lucu. Yang kedua—yang paling umum kayanya—adalah karena ceritanya "gue banget".

Saya jarang baca chicklit dengan dua alasan juga. Yang pertama karena jarang menemukan chicklit yang ceritanya lucu. Baru satu, malah. Yang kedua, karena cerita-cerita chicklit itu "gak gue banget".

Biasanya chicklit itu bercerita tentang perempuan muda di kota besar, lajang, mapan, bekerja di periklanan/penerbitan-buku/fashion/dunia-anak-anak, suka kopi, dan selalu menyelipkan bahasa Inggris dalam percakapan. Bener? Salah? Yaa mungkin aja kan gue udah bilang gue jarang baca ;P

Seharusnya ya, secara katanya lebih dari 50% penduduk Indonesia adalah perempuan, dan sekitar 40% penduduk Indonesia berpendapatan menengah ke bawah, bayangkan betapa akan banyaknya perempuan yang menganggap chicklit itu "gak gue banget" kayak gue. Betapa banyaknya perempuan Indonesia yang tidak bekerja di periklanan/penerbitan-buku/fashion/dunia-anak-anak. Kenapa gak bikin sesuatu yang "gue banget" buat mereka. Left chicklit, chicklit kiri. Seperti halnya chicklit biasa, tarikannya adalah agar yang membaca bisa bilang bahwa retorikanya "gue banget" dan juga bisa memberi inspirasi revolusioner bagi para "perempuan yang menyenangkan dan tak kenal takut" dengan darah juang menggelegak untuk menikmati kebebasan menjadi "lajang dan bahagia".

Irmha, tokoh kita, pertengahan dua puluhan, cantik, pernah bekerja di D'Bok (DB), sebuah pabrik sepatu yang merupakan idaman pemuda-pemudi di kampungnya. Irmha keluar karena menganggap pekerjaan di situ terlalu menekan, dan itu bukan dunianya. Dengan dukungan pacarnya, Arka, Irmha membuka sebuah toko perkakas dengan konsep Do-It-Yourself. Ide di balik toko itu adalah gak peduli apa kata orang, gak peduli apa yang ditawarkan ke elo, apapun bisa lo bikin sendiri, kira-kira gitu deh.

Toko perkakas Irmha mulai maju. Kebahagiaan lain datang ketika Arka mengajaknya menikah. Tapi siapa sangka hantu masa lalu Irmha muncul. Moni.

Moni adalah pemuda yang dikagumi Irmha ketika masih sekolah dulu. Moni bekerja di DB, tapi di divisi lain. Moni sudah supervisor. Moni kembali dan membuat hati Irmha terombang-ambing.


*Nama lain adalah "ilahi-ilahian", sayangnya mendegradasi makna kata "ilahi". Wah, kalo yang ini mah tatuuut.

2 komentar:

  1. 1. aku kirain mistis religius indonesia itu cuman njiplak semacam friday the 13th. sementara fri13 udah ga musim lagi di sana...
    2. amin
    3. dalam ciklit buatan warga indonesia kan ngobrolnya pake inggris, lah kalo ciklit terjemahan yg terbit di gramed n semacamnya itu kumaha? apakah memang karena ga mau repot, dipertahankan gaya bahasa inggrisnya, atau jangan2 malah ada yg rajin menciptakan berbagai padanan kata baru yg malah belum memasyarakat? secara baru tau di kompas bahwa ada usaha menerjemahkan "gender" sebagai "lapuan"...

    BalasHapus
  2. kalo "chicklit" di-indonesia-in, jadinya apa? "sastra-cewek"? :P

    BalasHapus