03 Oktober 2004

Minggu sore, paling enak ngapain ya? Waa...burung-burung yang minggu kemaren itu gak ada. Tapi tadi sebelum saya tidur siang mereka mampir sih. Now I assume that they are there everyday, tapi gue-nya yang tidak setiap hari ada.

Metropolitics. Kemarin di Kompas baca tulisannya Eko Budihardjo, Metropolitics. Inti tulisannya apa ya, kalo gak salah sih--mengacu pada judul--akar masalah yang dihadapi kota-kota di seluruh dunia saat ini terletak pada kancah perpolitikan. And it's actually integrated problems, soal kekeliruan kebijakan politik perkotaan dengan permasalahan-permasalahan kota (such as kriminalitas, kerusuhan, kemacetan, gelandangan, kemiskinan, dan kesengsaraan warga kota) juga dengan perkembangan kota-kota sekunder dan daerah pedesaan. Eh, btw istilahnya bukan integrated kali ya, pokoknya masalahnya bertaut satu sama lain, berkait-kelindan (hey, saya suka kosa kata eksotis ini).

Urbanisasi katanya bisa ditanggulangi dengan tiga dimensi kebijakan. 1)Perencanaan perkotaan, yang paradigmanya perlu diubah dari semula berorientasi tata guna lahan menjadi pola perencanaan yang lebih difokuskan pada landasan sistem infrastruktur: jaringan air bersih, sanitasi, persampahan, kesehatan masyarakat, transportasi, dan energi. 2)Strategi pembangunan perkotaan terkait dengan keunikan demografis dan geografis setempat. 3)Good governance.

Gue gak begitu ngerti tuh yang poin 1. Apakah instead of mengkapling-kapling lahan untuk fungsi tertentu, lebih baik menyediakan segala jenis infrastruktur begitu? Atau infrastruktur yang ada menentukan fungsi? Yang jelas sih kalo untuk Jakarta dan Bandung, perencanaan kota dengan tata guna lahan juga udah enggak, jangan lagi berdasarkan infrastruktur.

Sebenarnya ada culture shock gak sih, ketika pembangunan kota modern beserta fungsi-fungsinya yang notabene dibawa sama orang Belanda diterapin di Indonesia? Soalnya kemaren baru diingatkan soal perbedaan yang (agak) mendasar tentang Barat dan Timur. Hehe, sok tau gue ya? Kalo gue ngerasain sih tata kota tradisional masih kerasa di kota-kota kecil yang berpusat di alun-alun, tapi kalo Bandung dan Jakarta kan enggak. Tradisional enggak, modern juga kacrut. Hehe, sudahlah, gue gak kompeten ngomongin ini.

Tapi sih kalo lagi ngerasain panas-terik-pengapnya Thamrin suka mikir, kalo ntar gue punya anak dan masih kerja di jakarta, gue milih komuter aja kayak sekarang. Biar anak gue gak jadi bego gara-gara polusi udara. Tapi kalo komuter risikonya 3-4 jam sehari di jalan yak, precious time to spend. Lagian sih, berdasarkan TA gue taun 2002, kadar timbal di sini (serpong) yang harusnya background malah 2-3 kali jakarta (Hmm, anomali sih. Udah ketauan blum ya sumbernya?). Hehe, ntahlah, mikirnya kejauhan. Anto kali yang udah ngerasain bisa sharing?

Transmaterial. Buka PhysOrg, "The latest physics and technology news", jadi mikir seberapa deket (atau seberapa jauh?) sih the latest physics/technology ini sama kenyataan? How much does it matter? Gak bermaksud ke arah pertanyaan filosofis kaya The Matrix atau A.I. sih. Hehe, gue ngomongin apaan sih? Belum kompre nih mikirnya.

Tapi kalau ada yang pingin bikin novel/film futuristik, coba klik di sini. "Transmaterial is a catalog of materials, products and processes that are redefining our physical environment, based on a compilation of Blaine Brownell's "product of the week" electronic journal developed at nbbj." Siapa tau berguna.

Runaway Jury vs The Rainmaker. Runaway Jury sebagai novel, gue lumayan suka. Ceritanya a lil bit slow tapi saya kan orangnya sabar. Eh, nggak ding, maksud gue drama pengadilannya lumayan intens if you're not get bored with those facts of cigarettes. The Rainmaker sebagai novel, one of my favorites Grisham's. Yea...if u buy the story seperti perjalanan hidupnya Veri AFI gitu ;P But really, gue suka banget ceritanya yang a lil too good to be true, drama pengadilan, cheat-cheatannya, a humble love story (not too much), ups-and-downs-nya.

Runaway Jury versi film, gue ngebayangin betapa asiknya ngeliat Dustin Hoffman vs Gene Hackman (dan gue malah lupa sama novelnya karena bacanya udah lama). Dan tentu aja adegan mereka face-to-face cuma satu doang. Sebagai film, biasa-biasa aja. And who is this Gary Fleder guy? (actually, he directed Things to Do in Denver When You're Dead, about the same tone kalo gue gak salah inget). The Rainmaker versi film, well, above average. Matt Damon cucok sama bayangan gue tentang Rudy Baylor (John Cusack as Nick Easter also not a bad choice). Danny De Vito did bring certain atmosphere. Tapi sebagai karya Coppola, datar-datar aja.

Yang jelas Grisham kayanya seneng banget tema David vs Goliath gini, ya gak sih? (A Time to Kill, ring a bell?) Pengacara hijau-miskin-modal-pas2an vs big-hot-shot lawyer. Selalu diceritain pengacara gedean-nya melakukan kesalahan bodoh, terlalu percaya diri, dan membosankan, sementara "tokoh kita"-nya ulet, pantang menyerah walopun ada salib dibakar di depan rumahnya, dan tentu aja sangat beruntung.

Tombo Ati. Kemarin nih dua kali denger Tombo Ati dalam sehari. Kok bisa ya? (Beda dong sama denger Peter Pan tiga kali, itu kan gara-gara si Andri citibank bolak-balik muter tu lagu di Winamp. Ada apa denganmu, Ndri?). Yaa...bisa aja, kenapa enggak? :)

Tombo ati iku ono limang perkoro

Kaping pisan, moco Qur'an sa'maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonono
Kaping telu, wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat, wetengiro ingkang luwe
Kaping limo, dzikir wengi ingkang suwe

Salah akwijine sopo biso ngelakoni
Insya Allah Gusti Pangeran ngijabahi

(Tombo Ati - Sunan Bonang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar