24 April 2005

Ide cerita Janji Joni adalah sebuah insight yang menarik tentang orang-orang di belakang layar (mmm... di depan sih kalo secara harfiahnya. oh well...) Enam taun yang lalu ketika Kuldesak menampilkan tokoh Oppie yang penjaga tiket, gue acung jempol karena Nan Achnas kepikiran satu tokoh yang ironisnya kita temuin setiap kita nonton film but we barely notice. Dan Joni bukan hanya orang yang kita tidak notice tapi gue yakin kebanyakan orang bahkan gak tau bahwa kenikmatan film yang mereka tonton tergantung pada puluhan Joni-Joni yang harus berjibaku melawan kemacetan lalu lintas, maling sepeda motor, polisi birokratis, sopir taksi yang istrinya sedang hamil tua, sutradara keras kepala, copet, audisi band, seniman edan... Wait, segitunya-kah?

Well, yeah, Janji Joni emang segitunya. Plot yang mengalir cepat dengan kejutan-kejutan kecil tidak terduga yang gue jamin bakal bikin lo ketawa. A real roller-coaster movie for every moviegoer, gitu kali ya. Dan satu kata yang langsung terlintas di kepala gue (selain "ng*h*!" in amaze) adalah: cerdas! Kalo lo nonton arisan! dan menikmati pelintiran-pelintiran satir yang bikin lo either mesem sialan-iya-juga-ya atau ketawa ngakak haha-bener-banget, lo bakal dapet banyak di sini. Maybe it's something Joko Anwar does best. Dia bahkan terlihat lebih terkontrol misalnya dengan tidak terlalu banyak mengeksplor pelesetan seperti pelesetan judul-judul film di arisan! misalnya. Di sisi lain, realita di film ini emang lebih komikal dibanding arisan!, membuat banyak adegan menjadi too-much (beyond sense, maksudnya), tapi masih bisa diterima-lah.

Yang agak sulit diterima mungkin, sebagaimana dibahas oleh KOMPAS, adalah waktu internal film ini yang agak tidak klop. Katakanlah film yang sedang diputar itu berdurasi dua jam, dengan tiga kali bolak-balik (termasuk yang pertama), Joni punya waktu kira-kira 40 menit untuk satu kali bolak-balik dan selama itu dia harus melawan kemacetan lalu lintas, mal... ok, we're not going through that again.

Hal lain yang agak mengganggu adalah masalah latar belakang karakter yang nanggung. Siapa sih Joni? Mahasiswa yang kerja part-time? Pemuda putus sekolah yang menggali kebijaksaan dari film? What? Seorang Joni yang bisa bicara soal "apatis dan cynical" dan "Na-a..." tapi grogi untuk kenalan sama cewek karena masalah kelas. Walaupun maennya bagus, gue masih melihat Nicholas Saputra (dengan segala atributnya) dan bukan Joni yang sedang lari-lari di layar itu.

Buat gue sendiri, film ini adalah celebration. Gue nonton bersembilan sama Sali, Ifan, Kandi, Budi, Aswin, Wildan, Hamdan, dan Shafiq, dan kita actually dugem in term of duduk-dan-bergembira. Being class of '97 sampe 2000, yang mana 2000 adalah angkatan terakhir yang ngerasain pake proyektor 35 mili, berasa pisan meen! Ketawa ngakak, teriak-teriak, yang kurang cuma meja doang ;P Pas adegan Gito Rollies masang film di proyektor tuh kita semua yang langsung ber-"Ooh..." dengan nostalgi dan getir, sementara orang-orang lain tuh kali mikirnya "Apaan sih?" Pokoknya kita adalah sekelompok penonton nyebelin yang ribut sendiri dan mengganggu orang-orang. Tipe penonton ke-1 sampai 10 kecuali tipe ke-3 gitu deh.

Sekali lagi, Joko, makasih untuk filmnya yang (tetap) keren banget!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar